Secara garis besar sejarah hukum
agraria di Indonesia dapat dibagi
menjadi dua masa, yaitu masa penjajahan Belanda dan masa sesudah kemerdekaan.
Ketentuan-ketentuan di bidang agraria pada masa penjajahan Belanda sangat tidak
menguntungkan bagi bangsa Indonesia. Hal ini karena ketentuan-ketentuan
tersebut bersifat diskriminatif dan menindas bangsa Indonesia, terlebih dengan
adanya politik tanam paksa di bidang pertanian.1
Seharusnya dengan diproklamasikannya kemerdekaan Negara Republik
Indonesia pada 17 Agustus 1945, segala peraturan perundang-undangan peninggalan
pemerintah kolonial Belanda menjadi hapus.2 Namun berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan
Undang-Undang Dasar 1945, segala badan negara dan peraturan yang ada (termasuk
peraturan-peraturan di bidang hukum agraria) masih langsung berlaku selama
belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar 1945.
Karena sifatnya yang diskriminatif tersebut, maka pada tahun 1948
pemerintah memulai upaya untuk menyusun dasar-dasar hukum agraria yang akan
menggantikan produk-produk pemerintah kolonial Belanda di bidang hukum agraria.
Upaya tersebut dapat dibagi ke dalam lima periode, yaitu:
1. Periode Panitia Agraria Yogya
Pada tahun 1948 ibukota negara berada di Yogya. Berdasarkan
Penetapan Presiden Republik Indonesia tanggal 21 Mei 1948 No. 16, dibentuklah
Panitia Agraria Yogya.3 Panitia
Agraria Yogya diketuai oleh Sarimin Reksodiharjo, yang pada saat itu menjabat
sebagai Kepala Bagian Agraria Kementerian Dalam Negeri4 dan
beranggotakan:
- Pejabat-pejabat
dari berbagai kementerian dan jawatan;
- Anggota-anggota
Badan Pekerja KNIP yang mewakili organisasi-organisasi tani dan daerah;
- Ahli-ahli
hukum adat; dan
- Wakil
dari Serikat Buruh Perkebunan.5
Tugas dari Panitia Agraria Yogya adalah sebagai berikut:
- Memberi
pertimbangan kepada pemerintah tentang soal-soal mengenai hukum tanah
seumumnya;
- Merancang
dasar-dasar hukum tanah yang memuat politik agraria negara Republik
Indonesia;
- Merancang
perubahan, penggantian, pencabutan peraturan-peraturan lama, baik dari
sudut legislatif maupun dari sudut praktik; dan
- Menyelidiki
soal-soal lain yang berhubungan dengan hukum tanah.6
Hasil kerja dari Panitia Agraria Yogya adalah beberapa usulan
sebagai berikut:
- Dilepaskannya
asas domein dan pengakuan hak ulayat;
- Diadakannya
peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan yang kuat (hak milik);
- Diadakannya
penyelidikan mengenai peraturan-peraturan di negara lain untuk menentukan
apakah orang asing dapat mempunyai hak milik atas tanah;
- Diadakannya
penetapan luas minimum tanah bagi petani kecil agar memperoleh hidup yang
patut. Untuk wilayah Jawa diusulkan 2 hektar;
- Penetapan
luas maksimum. Untuk Jawa 10 hektar dengan tidak memandang macam tanah;
- Skema
hak-hak tanah berupa hak milik dan hak atas tanah kosong dari negara dan
daerah-daerah kecil serta hak-hak atas tanah orang lain yang disebut hak
magersari; dan
- Diadakan
registrasi tanah milik dan hak-hak menumpang yang penting (annex
kadaster).7
2. Periode Panitia Agraria Jakarta
Pada tahun 1951, seiring dengan peralihan bentuk pemerintahan dari
Republik Indonesia Serikat menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, ibukota
negara dipindah ke Jakarta. Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia
tanggal 19 Maret 1951 No. 36/1951, Panitia Agraria Yogya dibubarkan dan
dibentuk Panitia Agraria Jakarta.8 Panitia ini diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo (Pada 1953
digantikan oleh Singgih Praptodihardjo) 9 dan
beranggotakan:
- Pejabat-pejabat
dari berbagai kementerian dan jawatan; dan
- Wakil-wakil
organisasi-organisasi tani.10
Tugas dari Panitia Agraria Jakarta hampir sama dengan tugas Panitia
Agraria Yogya. Hasil kerja dari Panitia Agraria Jakarta adalah sebagai berikut:
- Batas
luas minimum adalah 2 hektar dan perlu dikaji lebih lanjut mengenai
hubungan antara pembatasan minimum dengan hukum adat;
- Pembatasan
maksimum 25 hektar untuk satu keluarga;
- Yang
dapat memiliki tanah untuk pertanian kecil hanya penduduk Warganegara
Indonesia dan tidak dibedakan antara warganegara asli dan bukan asli;
- Skema
hak-hak tanah berupa hak milik, hak usaha, hak sewa dan hak pakai;
- Diakuinya
hak ulayat.11
3. Periode Panitia Negara Urusan Agraria/Panitia Soewahjo
Melalui Keputusan Presiden tanggal 29 Maret 1955 No. 55/1955,
dibentuk Kementerian Agraria yang salah satu tugasnya adalah untuk
mempersiapkan pembentukan perundang-undangan agraria nasional.12 Berdasarkan
Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 14 Januari 1956 No. 1/1956,
Panitia Agraria Jakarta dibubarkan dan dibentuk Panitia Negara Urusan Agraria
yang berkedudukan di Jakarta.13 Panitia ini diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo dan
beranggotakan:
- Pejabat-pejabat
pelbagai kementerian dan jawatan;
- Ahli-ahli
hukum adat; dan
- wakil-wakil
beberapa organisasi tani.14
Tugas pokok panitia ini adalah mempersiapkan rencana Undang-Undang
Pokok Agraria.15 Pada
tahun 1957 Panitia Negara Urusan Agraria berhasil menyelesaikan tugasnya.
Beberapa poin penting dari rancangan Undang-Undang yang dibuat oleh panitia ini
adalah:
- Dihapuskannya
asas domein dan diakuinya hak ulayat;
- Asas
domein diganti dengan Hak Kekuasaan Negara;
- Dihapuskannya
dualisme hukum agraria;
- Hak-hak
atas tanah berupa hak milik, hak usaha, hak bangunan dan hak pakai;
- Hak
milik hanya boleh dipunyai oleh Warganegara Indonesia tanpa membedakan
warganegara asli dan tidak asli. Sedangkan badan hukum tidak boleh
mempunyai hak milik;
- Diadakan
penetapan batas maksimum dan minimum luas tanah;
- Pada
asasnya tanah pertanian harus dikerjakan dan diusahakan sendiri oleh pemiliknya;
- Perlu
diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan penggunaan tanah.16
4. Periode Rancangan Soenarjo
Dengan beberapa perubahan, rancangan Panitia Negara Urusan Agraria
diajukan oleh Menteri Agraria Soenarjo kepada Dewan Meneri pada tanggal 14
Maret 1958 dan disetujui oleh Dewan Menteri pada tanggal 1 April 1958.
Rancangan tersebut kemudian diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat melalui Amanat
Presiden tanggal 24 April 1958 No. 1307/HK.17
5. Periode Rancangan Sadjarwo
Karena rancangan Soenarjo disusun dengan dasar Undang-Undang Dasar
Sementara, maka rancangan tersebut ditarik dengan Surat Pejabat Presiden
tanggal 23 Mei 1960 No. 1532/HK/1960.18 Kemudian
diajukan rancangan Undang-Undang Pokok Agraria yang telah disesuaikan dengan
Undang-Undang Dasar 1945 dan Manifesto Politik Republik Indonesia. Rancangan
tersebut diajukan oleh Menteri Agraria Sadjarwo.
Akhirnya pada tanggal 14 September 1960 dengan suara bulat Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong menerima baik rancangan tersebut19 dan disahkan oleh Presiden Soekarno menjadi Undang-Undang No.
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih
dikenal sebagai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)20 UUPA diundangkan dalam Lembaran Negara tahun 1960 No. 104 dan
penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara No. 2043, serta mulai
berlaku pada tanggal 24 September 1960.
Referensi:
- H.
Ali Achmad Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan
Indonesia) Jilid 1, Jakarta:
Prestasi Pustaka, 2004, Hlm. 13.
- Ibid.,
Hlm. 14.
- Boedi
Harsono, Hukum Agraria
Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaannya, Jakarta:
Djambatan, 2005, Hlm. 125.
- Ibid.
- Ibid.
- Ibid.
- Ibid.,
Hlm. 125-126.
- Ibid.,
Hlm. 126.
- Ibid.
- Ibid.
- Ibid.,
Hlm. 127.
- Ibid.
- Ibid.,
Hlm. 128.
- Ibid.
- Ibid.
- Ibid.,
Hlm. 128-129.
- Ibid.
- Ibid.
- Ibid.,
Hlm. 131.
- Ibid.,
Hlm. 132.
0 komentar:
Posting Komentar