Buku
Siswa
Kerajaan-kerajaan
bercorak Hindu-Buddha
I.
Mengamati
Lingkungan
Mungkin kamu pernah
mendengar atau malah
sudah pernah berkunjung di suatu tempat atau
yang disebut Trowulan di Mojokerto.
Kompleks Trowulan inilah yang diperkirakan dulu menjadi
pusat pemerintahan Majapahit. Beberapa situs
yang dapat kita temukan sekarang
misalnya ada pendhopo, segaran, Candi Bajang Ratu dan sebagainya. Kamu bayangkan Majapahit tempo dulu merupakan kerajaan yang luas
dan sudah menjalin kerja sama dengan kerajaan-
kerajaan di luar Kepulauan Indonesia. Bahkan Mohammad Yamin menyebut Kerajaan Majapahit itu sebagai Kerajaan Nasional
kedua. Bayangkan pula
tokoh
besar
seperti
Patih Gajah
Mada dan Raja Hayam Wuruk
yang
berhasil
mempersatukan Nusantara. Bahkan hingga saat
ini kebesaran Patih Gajah
Mada masih melekat dalam
ingatan kita, hingga makam Patih Gajah Mada oleh masyakarat
Lombok Timur dipercaya berada di kompleks
pemakaman Raja Selaparang. Cerita kebesaran Patih Gajah Mada juga terdapat di daerah lain. Nah, itulah salah satu kisah kecil Kerajaan
Majapahit, Satu di antara
kerajaan Hindu-Buddha di Nusantara. Berikut ini kita
akan mempelajari perkembangan beberapa kerajaan Hindu- Buddha.
II.
Memahami
Teks
1.
Kerajaan
Kutai
Untuk memahami perkembangan Kerajaan Kutai itu, tentu memerlukan
sumber
sejarah yang dapat
menjelaskannya. Sumber
sejarah Kutai yang utama
adalah
prasasti yang disebut
yupa, yaitu berupa batu
bertulis. Yupa
juga sebagai
tugu
peringatan
dari
upacara kurban. Yupa ini
dikeluarkan pada masa pemerintahan raja
Mulawarman. Prasasti yupa ditulis dengan huruf pallawa dan bahasa sanskerta. Dengan melihat bentuk hurufnya, para ahli berpendapat
bahwa yupa dibuat sekitar abad ke-5 M.
Yang menarik dalam
prasasti
itu juga
disebut nama kakek
Mulawarman yang bernama Kudungga. Kudungga berarti penguasa lokal, dan yang
setelah terkena pengaruh Hindu-Buddha daerah tersebut berubah menjadi kerajaan. Namanya tetap
Kudungga
berbeda dengan nama putranya
yang bernama Aswawarman dan
cucunya yang bernama Mulawarman. Oleh karena itu yang terkenal
sebagai wam sakerta adalah Aswawarman. Coba pelajaran apa yang dapat
kita peroleh dengan persoalan nama di dalam satu keluarga
Kudungga itu?
Satu di antara yupa itu memberi informasi
penting
tentang silsilah Raja Mulawarman. Diterangkan bahwa Kudungga mempunyai putra bernama Aswawarman. Raja Aswawarman
dikatakan seperti
Dewa Ansuman (Dewa Matahari). Aswawarman mempunyai tiga anak, tetapi yang terkenal adalah Mulawarman. Raja Mulawarman dikatakan sebagai raja yang terbesar
di Kutai. Ia
pemeluk agama Hindu-Siwa yang setia. Tempat sucinya dinamakan
Waprakeswara. Ia juga
dikenal
sebagai
raja yang sangat dekat
dengan kaum brahmana dan
rakyat. Raja Mulawarman sangat dermawan.
Ia mengadakan kurban emas dan 20.000 ekor lembu untuk
para
brahmana.
Oleh karena
itu, sebagai rasa terima kasih dan
peringatan mengenai upacara kurban, para brahmana
mendirikan sebuah yupa.
Pada masa pemerintahan
Mulawarman, Kutai mengalami zaman keemasan. Kehidupan ekonomi pun mengalami perkembangan. Kutai terletak di tepi sungai, sehingga
masyarakatnya melakukan pertanian. Selain itu, mereka banyak
yang melakukan perdagangan. Bahkan diperkirakan sudah terjadi hubungan dagang dengan luar. Jalur perdagangan internasional
dari India melewati Selat Makassar, terus ke Filipina dan sampai
di Cina. Dalam pelayarannya
dimungkinkan para pedagang itu singgah
terlebih dahulu di Kutai. Dengan
demikian, Kutai semakin ramai dan rakyat hidup makmur.
2. Kerajaan
Tarumanegara
Sejarah tertua
yang
berkaitan
dengan pengendalian banjir dan sistem pengairan adalah pada masa Kerajaan Tarumanegara.
Untuk mengendalikan
banjir dan pertanian
yang diduga di wilayah
Jakarta saat ini, maka Raja Purnawarman menggali
sungai Candrabaga. Setelah selesai melakukan
penggalian sungai
maka raja mempersembahkan 1.000 ekor lembu pada brahmana. Berkat sungai itulah
penduduk Tarumanegara menjadi makmur.
Siapakah Raja Purnawarman itu?
Purnawarman
adalah raja
terkenal dari
Tarumanegara. Perlu
kamu
pahami
bahwa setelah Kerajaan Kutai
berkembang di Kalimantan Timur, di
Jawa bagian barat muncul Kerajaan
Tarumanegara. Kerajaan
ini terletak tidak jauh dari pantai utara
Jawa bagian Barat. Berdasarkan
prasasti-prasasti
yang ditemukan letak pusat Kerajaan Tarumanegara diperkirakan di antara
Sungai Citarum dan Cisadane. Kalau
mengingat namanya Tarumanegara, dan kata taruma mungkin berkaitan dengan kata tarum
yang artinya nila. Kata tarum dipakai sebagai nama sebuah sungai
di Jawa Barat, yakni
Sungai Citarum. Mungkin
juga letak Tarumanegara dekat dengan
aliran
Sungai
Citarum. Kemudian berdasarkan Prasasti Tugu, Purbacaraka memperkirakan pusatnya ada di daerah
Bekasi.
Sumber sejarah
Tarumanegara yang utama adalah beberapa prasasti yang
telah ditemukan. Berkaitan dengan perkembangan Kerajaan Tarumanegara, telah ditemukan tujuh buah prasasti. Prasasti-prasasti itu berhuruf pallawa dan berbahasa sansekerta. Ketujuh prasasti itu adalah:
1. Prasasti Ciareteun
Prasasti ini ditemukan di
tepi Sungai Citarum di dekat muaranya
yang mengalir ke Sungai
Cisadane,
di daerah Bogor. Pada prasasti
ini dipahatkan sepasang telapak kaki Raja Purnawarman.
2.
Prasati Kebon Kopi
Prasasti
Kebon
Kopi ditemukan
di Kampung
Muara
Hilir, Kecamatan Cibungbulang, Bogor. Pada prasasti ini ada pahatan gambar tapak kaki
gajah yang disamakan
dengan tapak kaki gajah Airawata (gajah
kendaraan Dewa Wisnu).
3.
Prasasti Jambu
Prasasti ini ditemukan di
perkebunan Jambu, Bukit
Koleangkok, kira-kira 30 km sebelah barat Bogor. Dalam prasasti itu diterangkan
bahwa Raja Purnawarman itu gagah, pemimpin yang termasyhur, dan baju
zirahnya tidak dapat ditembus senjata musuh.
4.
Prasasti Tugu
Prasasti Tugu ditemukan di Desa Tugu, Cilincing
Jakarta. Prasasti ini menerangkan tentang
penggalian saluran Gomati dan Sungai
Candrabhaga. Mengenai nama Candrabhaga, Purbacaraka mengartikan candra = bulan =
sasi. Candrabhaga menjadi sasibhaga dan kemudian
menjadi Bhagasasi - bagasi, akhirnya menjadi
Bekasi.
5.
Prasasti Pasir Awi
Prasasti Pasir Awi ditemukan di daerah Bogor.
6.
Prasasti Muara Cianten
Prasasti Muara Cianten ditemukan di
daerah Bogor.
7.
Prasasti Lebak
Prasasti Lebak ditemukan di tepi Sungai Cidanghiang,
Kecamatan Muncul, Banten
Selatan. Prasasti ini menerangkan tentang
keperwiraan, keagungan, dan keberanian Purnawarman sebagai raja dunia.
Di samping beberapa prasasti tersebut, berita Cina juga dapat dijadikan sumber sejarah
Kerajaan Tarumanegara. Terutama berita yang
disampaikan oleh seorang musafir Cina yang bernama Fa-Hien
yang berkunjung ke Jawa. Ia telah menyebut adanya Kerajaan
To-lo- mo atau Taruma.
Kerajaan Tarumanegara mulai berkembang pada
abad ke-5 M. Raja
yang sangat terkenal adalah
Purnawarman. Ia dikenal sebagai raja yang gagah berani dan tegas.
Ia juga dekat
dengan para brahmana, pangeran,
dan rakyat. Ia raja yang jujur, adil, dan
arif di dalam
memerintah. Daerahnya cukup luas sampai ke daerah Banten. Kerajaan Tarumanegara telah menjalin hubungan
dengan
kerajaan lain, misalnya
dengan Cina.
Dalam kehidupan agama, sebagian besar masyarakat Tarumanegara
memeluk agama Hindu. Sedikit yang beragama Buddha dan masih ada yang mempertahankan
agama nenek
moyang (animisme). Berdasarkan berita
dan
Fa-Hien, di To- lo-mo ada
tiga agama, yakni
agama Hindu,
agama Buddha
dan kepercayaan animisme. Raja memeluk agama Hindu.
Sebagai bukti, pada prasasti
Ciareteun ada tapak
kaki raja yang diibaratkan tapak
kaki Dewa Wisnu.
Sumber Cina lainnya menyatakan bahwa, pada masa Dinasti T’ang terjadi hubungan perdagangan
dengan Jawa. Barang-barang yang diperdagangkan adalah kulit penyu, emas, perak,
cula badak, dan gading gajah.
Penduduk daerah itu pandai membuat
minuman keras
yang terbuat dari bunga kelapa.
Rakyat Tarumanegara hidup aman dan tenteram.
Pertanian merupakan mata pencaharian pokok. Di samping itu, perdagangan juga berkembang.
Kerajaan Tarumanegara mengadakan hubungan dagang dengan Cina dan India.
3.
Kerajaan Sriwijaya
Sejak permulaan tarikh Masehi, hubungan dagang antara,
India dengan Kepulauan Indonesia sudah ramai. Daerah pantai timur Sumatra menjadi jalur perdagangan
yang ramai dikunjungi para pedagang.
Kemudian, muncul
pusat-pusat perdagangan yang berkembang
menjadi pusat
kerajaan. Kerajaan-kerajaan
kecil di pantai Sumatra
bagian
timur sekitar
abad ke-7,
antara lain Tulangbawang, Melayu,
dan Sriwijaya. Dari ketiga
kerajaan itu, yang kemudian
berhasil berkembang dan
mencapai kejayaannya adalah Sriwijaya. Kerajaan
Melayu juga sempat berkembang,
dengan pusatnya di Jambi.
Pada tahun 692 M, Sriwijaya mengadakan ekspansi ke daerah sekitar Melayu. Melayu dapat
ditaklukkan
dan
berada
di bawah kekuasaan Sriwijaya. Letak pusat
Kerajaan Sriwijaya ada
berbagai pendapat. Ada
yang berpendapat bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya
ada di Palembang, ada yang
berpendapat di Jambi,
bahkan ada yang berpendapat di
luar Indonesia. Akan tetapi, pendapat
yang
banyak didukung oleh para ahli, pusat
Kerajaan Sriwijaya adalah
di Palembang, di dekat
pantai
dan
di tepi Sungai Musi. Ketika pusat Kerajaan Sriwijaya di Palembang mulai menunjukkan kemunduran, Sriwijaya berpindah ke
Jambi.
Sumber sejarah
Kerajaan Sriwijaya yang penting
adalah
prasasti. Prasasti-prasasti itu ditulis
dengan huruf Pallawa. Bahasa yang dipakai Melayu Kuno. Beberapa
prasasti itu antara lain
sebagai berikut.
1.
Prasasti Kedukan
Bukit
Prasasti Kedukan Bukit
ditemukan di tepi Sungai Tatang, dekat
Palembang.
Prasasti ini berangka tahun
605 Saka (683 M). Isinya antara lain
menerangkan bahwa seorang
bernama Dapunta Hyang
mengadakan perjalanan suci
(siddhayatra) dengan menggunakan perahu. Ia berangkat
dari Minangatamwan dengan membawa
tentara 20.000 personel.
2.
Prasasti Talang Tuo
Prasasti Talang Tuo ditemukan di sebelah barat Kota Palembang di
daerah Talang Tuo. Prasasti ini berangka tahun 606 Saka (684 M). Isinya
menyebutkan tentang pembangunan sebuah taman
yang disebut Sriksetra.
Taman ini dibuat
oleh Dapunta Hyang Sri Jayanaga.
3.
Prasasti Telaga Batu
Prasasti Telaga Batu ditemukan
di Palembang. Prasasti ini tidak berangka tahun. Isinya terutama tentang
kutukan-kutukan yang
menakutkan bagi mereka yang berbuat kejahatan.
4.
Prasasti Kota Kapur
Prasasti Kota Kapur ditemukan
di Pulau Bangka, berangka tahun 608
Saka (656 M). Isinya
terutama permintaan kepada para dewa untuk menjaga kedatuan Sriwijaya, dan menghukum setiap orang yang bermaksud jahat.
5.
Prasasti Karang Berahi
Prasasti Karang Berahi
ditemukan di
Jambi,
berangka tahun 608 saka (686 M).
Isinya sama dengan isi Prasasti
Kota Kapur.Beberapa prasasti
yang lain, yakni
Prasasti Ligor berangka tahun
775 M ditemukan di Ligor, Semenanjung
Melayu, dan Prasasti Nalanda di India Timur. Di samping prasasti-prasasti tersebut, berita Cina juga merupakan
sumber sejarah Sriwijaya yang penting. Misalnya berita dari I-tsing, yang pernah
tinggal di Sriwijaya.
Ada beberapa faktor
yang mendorong perkembangan
Sriwijaya antara lain:
a. Letak geografis
dari Kota Palembang. Palembang sebagai pusat pemerintahan
terletak di tepi
Sungai Musi. Di
depan muara
Sungai Musi terdapat pulau-pulau yang berfungsi sebagai
pelindung
pelabuhan di Muara
Sungai Musi. Keadaan seperti ini sangat tepat untuk kegiatan
pemerintahan dan pertahanan. Kondisi itu pula menjadikan Sriwijaya sebagai jalur perdagangan internasional dari India ke Cina, atau sebaliknya.
Juga kondisi sungai-sungai yang besar, perairan laut yang cukup tenang, serta penduduknya
yang berbakat sebagai pelaut ulung.
b. Runtuhnya Kerajaan
Funan di Vietnam akibat serangan
Kamboja. Hal ini
telah memberi
kesempatan
Sriwijaya
untuk cepat berkembang sebagai negara maritim.
Kerajaan Sriwijaya mulai berkembang
pada abad ke-7. Pada awal perkembangannya, rajanya disebut dengan Dapunta Hyang. Dalam Prasasti Kedukan
Bukit dan Talang Tuo telah
ditulis sebutan Dapunta Hyang. Pada
abad ke-7,
Dapunta Hyang
banyak melakukan usaha perluasan daerah.
Daerah-daerah yang berhasil dikuasai antara
lain sebagai berikut.
a.
Tulang-Bawang yang
terletak di daerah Lampung.
b.
Daerah Kedah
yang terletak di pantai
barat
Semenanjung Melayu. Daerah ini sangat panting
artinya bagi usaha pengembangan perdagangan
dengan
India. Menurut
I-tsing, penaklukan
Sriwijaya
atas Kedah
berlangsung antara tahun
682-685 M.
c.
Pulau Bangka yang terletak
di pertemuan jalan perdagangan
internasional, merupakan daerah yang sangat penting.
Daerah ini
dapat dikuasai Sriwijaya pada tahun
686 M berdasarkan
Prasasti Kota Kapur. Sriwijaya juga diceritakan berusaha menaklukkan
Bhumi Java
yang tidak setia
kepada Sriwijaya. Bhumi Java yang dimaksud adalah
Jawa, khususnya Jawa bagian barat.
d.
Daerah Jambi terletak di tepi Sungai Batanghari. Daerah ini memiliki kedudukan
yang
penting, terutama
untuk
memperlancar perdagangan di pantai timur
Sumatra. Penaklukan ini dilaksanakan kira-kira tahun 686 M (Prasasti Karang Berahi).
e.
Tanah Genting Kra
merupakan tanah genting
bagian
utara Semenanjung Melayu. Kedudukan Tanah Genting
Kra sangat penting.
Jarak antara pantai barat dan pantai timur di tanah
genting
sangat
dekat,
sehingga para pedagang dari
Cina
berlabuh dahulu
di pantai
timur
dan membongkar barang dagangannya untuk
diangkut dengan pedati ke pantai barat. Kemudian mereka berlayar
ke India. Penguasaan Sriwijaya atas Tanah Genting Kra dapat diketahui dari Prasasti Ligor yang berangka tahun
775 M.
f.
Kerajaan Kaling dan Mataram
Kuno.
Menurut
berita Cina, diterangkan adanya serangan dari barat, sehingga
mendesak Kerajaan Kaling pindah ke sebelah timur. Diduga yang melakukan serangan adalah Sriwijaya. Sriwijaya ingin menguasai Jawa bagian
tengah karena pantai
utara
Jawa bagian
tengah juga merupakan jalur perdagangan yang penting.
Sriwijaya terus melakukan
perluasan daerah, sehingga Sriwijaya menjadi kerajaan yang besar. Untuk
lebih memperkuat pertahanannya, pada tahun 775
M dibangunlah sebuah pangkalan di
daerah Ligor. Waktu itu yang menjadi
raja adalah Darmasetra.
Raja yang terkenal dari Kerajaan Sriwijaya adalah Balaputradewa.
Ia
memerintah
sekitar abad ke-9 M. Pada masa pemerintahannya,
Sriwijaya berkembang pesat dan mencapai zaman keemasan.
Balaputradewa adalah keturunan dari Dinasti Syailendra, yakni
putra dari Raja Samaratungga dengan
Dewi Tara dari Sriwijaya. Hal tersebut diterangkan dalam Prasasti Nalanda.
Balaputradewa adalah seorang raja
yang besar di Sriwijaya. Raja Balaputradewa menjalin
hubungan erat dengan Kerajaan Benggala yang saat itu diperintah oleh Raja Dewapala Dewa. Raja
ini menghadiahkan sebidang
tanah kepada Balaputradewa untuk pendirian
sebuah
asrama
bagi para pelajar
dan mahapeserta didik yang sedang belajar
di Nalanda, yang dibiayai
oleh Balaputradewa, sebagai “dharma”. Hal itu tercatat dengan baik dalam Prasasti Nalanda, yang
saat ini berada di Universitas Nawa Nalanda,
India. Bahkan
bentuk asrama itu mempunyai kesamaan
arsitektur dengan Candi Muara Jambi, yang berada di Provinsi Jambi
saat ini.
Hal tersebut menandakan Sriwijaya memperhatikan ilmu pengetahuan, terutama pengetahuan agama Buddha
dan bahasa
Sanskerta bagi generasi
mudanya.
Pada tahun 990 M yang menjadi Raja
Sriwijaya adalah Sri Sudamaniwarmadewa.
Pada masa pemerintahan
raja itu terjadi serangan Raja Darmawangsa dari Jawa
bagian
Timur. Akan
tetapi, serangan itu berhasil digagalkan oleh tentara Sriwijaya. Sri Sudamaniwarmadewa kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Marawijayottunggawarman. Pada masa pemerintahan Marawijayottunggawarman, Sriwijaya membina hubungan dengan Raja Rajaraya I dari Colamandala. Pada masa itu,
Sriwijaya terus
mempertahankan kebesarannya.
Untuk mengurus setiap daerah kekuasaan Sriwijaya, dipercayakan kepada seorang Rakryan
(wakil
raja di daerah).
Dalam hal ini Sriwijaya sudah mengenal struktur pemerintahan.
Pada mulanya
penduduk Sriwijaya hidup dengan
bertani. Akan tetapi
karena Sriwijaya terletak di tepi Sungai
Musi dekat
pantai,
maka
perdagangan
menjadi cepat berkembang. Perdagangan
kemudian menjadi mata pencaharian pokok.
Perkembangan perdagangan
didukung oleh keadaan dan letak Sriwijaya yang strategis. Sriwijaya terletak di persimpangan jalan perdagangan internasional.
Para pedagang Cina yang
akan ke India singgah dahulu di Sriwijaya, begitu juga
para pedagang dan India yang akan ke Cina.
Di Sriwijaya para pedagang melakukan
bongkar
muat barang dagangan. Dengan demikian,
Sriwijaya semakin ramai dan
berkembang menjadi pusat perdagangan.
Sriwijaya mulai menguasai perdagangan
nasional maupun internasional di kawasan perairan Asia
Tenggara. Perairan
di Laut Natuna, Selat Malaka, Selat Sunda, dan Laut
Jawa berada di bawah kekuasaan Sriwijaya.
Tampilnya
Sriwijaya sebagai pusat perdagangan,
memberikan kemakmuran bagi rakyat dan negara Sriwijaya. Kapal-kapal yang
singgah dan melakukan bongkar
muat,
harus membayar pajak. Dalam kegiatan
perdagangan, Sriwijaya mengekspor gading, kulit, dan beberapa jenis binatang liar, sedangkan barang impornya antara lain beras, rempah-rempah, kayu manis, kemenyan, emas, gading, dan binatang.
Perkembangan tersebut
telah memperkuat kedudukan Sriwijaya sebagai kerajaan maritim. Kerajaan
maritim adalah kerajaan yang mengandalkan perekonomiannya dari kegiatan perdagangan
dan hasil-hasil laut. Untuk memperkuat kedudukannya, Sriwijaya membentuk armada angkatan laut yang kuat. Melalui armada angkatan
laut yang kuat Sriwijaya
mampu mengawasi perairan
di Nusantara. Hal
ini sekaligus merupakan jaminan keamanan bagi para
pedagang yang ingin berdagang dan berlayar
di wilayah perairan
Sriwijaya.
Dalam kaitannya
dengan perkembangan agama dan kebudayaan Buddha,
di Sriwijaya ditemukan beberapa peninggalan. Misalnya, Candi Muara Takus, yang ditemukan dekat Sungai Kampar
di daerah Riau.
Kemudian di daerah Bukit Siguntang ditemukan arca
Buddha.
Pada
tahun
1006 Sriwijaya juga telah membangun wihara sebagai tempat suci agama Buddha di Nagipattana, India Selatan. Hubungan Sriwijaya dengan India Selatan waktu itu sangat
erat.
Bangunan lain yang sangat
penting
adalah
Biaro Bahal
yang ada di Padang Lawas,
Tapanuli Selatan.
Di tempat ini pula terdapat bangunan wihara.
Kerajaan Sriwijaya akhirnya mengalami
kemunduran karena beberapa hal antara lain :
a.
Keadaan sekitar
Sriwijaya berubah, tidak lagi dekat dengan pantai.
Hal ini disebabkan aliran Sungai Musi, Ogan, dan Komering banyak
membawa lumpur. Akibatnya. Sriwijaya tidak baik untuk perdagangan.
b.
Banyak daerah kekuasaan Sriwijaya yang melepaskan diri.
Hal ini disebabkan terutama
karena melemahnya angkatan
laut Sriwijaya, sehingga pengawasan
semakin sulit.
c.
Dari segi politik, beberapa kali Sriwijaya mendapat serangan
dari kerajaan-kerajaan lain. Tahun 1017 M Sriwijaya mendapat serangan dari Raja Rajendracola dari Colamandala, namun Sriwijaya masih dapat bertahan. Tahun 1025 serangan itu diulangi, sehingga Raja Sriwijaya,
Sri Sanggramawijayattunggawarman ditahan oleh pihak Kerajaan Colamandala.
Tahun 1275, Raja Kertanegara dari Singhasari melakukan Ekspedisi Pamalayu. Hal itu menyebabkan daerah Melayu lepas. Tahun 1377
armada angkatan laut Majapahit menyerang Sriwijaya. Serangan ini mengakhiri riwayat Kerajaan Sriwijaya.
4.
Kerajaan Mataram Kuno
Pada pertengahan abad ke-8 di Jawa bagian
tengah berdiri sebuah
kerajaan baru. Kerajaan
itu kita kenal dengan nama Kerajaan
Mataram Kuno. Mengenai letak
dan pusat Kerajaan
Mataram Kuno tepatnya belum dapat dipastikan.
Ada yang menyebutkan pusat kerajaan di Medang dan
terletak di Poh Pitu. Sementara itu letak Poh Pitu sampai sekarang belum
jelas. Keberadaan lokasi kerajaan itu dapat diterangkan berada di sekeliling pegunungan, dan sungai- sungai. Di sebelah
utara
terdapat Gunung Merapi, Merbabu, Sumbing, dan
Sindoro; di sebelah barat
terdapat Pegunungan Serayu; di sebelah
timur terdapat Gunung
Lawu, serta
di sebelah selatan berdekatan dengan Laut Selatan dan Pegunungan Seribu. Sungai-sungai yang ada, misalnya Sungai Bogowonto, Elo,
Progo, Opak,
dan Bengawan Solo. Letak Poh
Pitu mungkin di antara Kedu sampai
sekitar Prambanan.
Untuk mengetahui perkembangan Kerajaan Mataram Kuno dapat
digunakan
sumber yang berupa
prasasti. Ada beberapa
prasasti yang berkaitan dengan
Kerajaan Mataram Kuno
di antaranya Prasasti Canggal, Prasasti Kalasan, Prasasti Klura, Prasasti Kedu atau Prasasti Balitung.
Di samping beberapa prasasti tersebut, sumber sejarah
untuk
Kerajaan
Mataram
Kuno juga
berasal dari berita Cina.
Sebelum Sanjaya berkuasa
di Mataram Kuno,
di Jawa sudah berkuasa seorang
raja
bernama
Sanna. Menurut
prasasti Canggal yang berangka tahun 732 M, diterangkan
bahwa Raja Sanna telah digantikan oleh Sanjaya. Raja Sanjaya adalah putra Sanaha, saudara
perempuan dari Sanna.
Dalam Prasasti
Sojomerto yang ditemukan
di Desa Sojomerto, Kabupaten Batang, disebut nama Dapunta
Syailendra yang beragama Syiwa (Hindu). Diperkirakan
Dapunta Syailendra berasal dari
Sriwijaya dan menurunkan Dinasti Syailendra yang berkuasa
di Jawa bagian
tengah. Dalam hal ini Dapunta
Syailendra diperkirakan yang menurunkan Sanna, sebagai raja di Jawa. Sanjaya tampil memerintah Kerajaan Mataram Kuno pada
tahun
717 - 780 M. Ia melanjutkan kekuasaan Sanna. Sanjaya kemudian melakukan penaklukan terhadap raja-raja kecil bekas bawahan Sanna yang melepaskan diri. Setelah itu, pada tahun 732 M Raja Sanjaya mendirikan bangunan suci sebagai tempat pemujaan. Bangunan ini berupa
lingga dan berada di atas
Gunung Wukir (Bukit Stirangga). Bangunan suci itu merupakan lambang keberhasilan Sanjaya dalam menaklukkan raja-raja lain.
Raja Sanjaya bersikap arif, adil dalam memerintah, dan memiliki pengetahuan luas. Para pujangga dan rakyat hormat kepada rajanya. Oleh karena itu, di bawah
pemerintahan Raja Sanjaya, kerajaan menjadi aman dan tenteram. Rakyat hidup makmur. Mata pencaharian penting adalah pertanian dengan hasil utama padi. Sanjaya juga dikenal sebagai raja yang paham akan isi kitab-kitab suci. Bangunan suci dibangun oleh Sanjaya untuk pemujaan lingga di atas Gunung Wukir, sebagai lambang telah ditaklukkannya raja-raja kecil di sekitarnya yang dulu mengakui kemaharajaan Sanna.
Setelah Raja Sanjaya wafat,
ia digantikan oleh putranya bernama Rakai Panangkaran. Panangkaran mendukung adanya perkembangan agama Buddha. Dalam Prasasti Kalasan yang berangka tahun 778, Raja Panangkaran telah memberikan hadiah tanah
dan
memerintahkan membangun sebuah
candi untuk Dewi Tara dan sebuah biara untuk para pendeta agama Buddha. Tanah dan
bangunan tersebut terletak di Kalasan. Prasasti Kalasan juga menerangkan bahwa Raja Panangkaran disebut dengan nama Syailendra Sri Maharaja Dyah Pancapana Rakai Panangkaran. Raja Panangkaran kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke arah timur.
Raja Panangkaran dikenal sebagai penakluk yang gagah berani bagi musuh- musuh
kerajaan. Daerahnya bertambah
luas. Ia juga disebut sebagai permata dari Dinasti Syailendra. Agama Buddha Mahayana
waktu itu berkembang pesat. Ia juga memerintahkan didirikannya
bangunan-bangunan suci. Misalnya, candi Kalasan dan arca Manjusri.
Setelah kekuasaan Penangkaran berakhir, timbul persoalan dalam keluarga Syailendra,
karena adanya perpecahan antara anggota keluarga yang sudah memeluk agama Buddha dengan keluarga yang masih
memeluk
agama
Hindu (Syiwa). Hal ini menimbulkan perpecahan di dalam pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno.
Satu pemerintahan dipimpin oleh tokoh-tokoh kerabat istana yang menganut agama Hindu berkuasa di daerah Jawa bagian utara. Kemudian keluarga yang terdiri atas tokoh-tokoh yang beragama Buddha berkuasa di daerah
Jawa bagian selatan.
Keluarga Syailendra yang beragama Hindu meninggalkan bangunan-bangunan
candi di Jawa bagian utara. Misalnya, candi-candi kompleks Pegunungan
Dieng (candi
Dieng) dan kompleks Candi Gedongsongo. Kompleks candi Dieng
memakai nama-nama tokoh wayang seperti Candi Bima,
Puntadewa,
Arjuna, dan Semar.
Sementara
yang beragama Buddha meninggalkan candi-candi seperti
Candi Ngawen, Mendut, Pawon
dan Borobudur. candi Borobudur diperkirakan mulai dibangun oleh Samaratungga pada tahun 824 M. Pembangunan kemudian dilanjutkan
pada zaman Pramudawardani dan Pikatan.
Candi
borobudur
Perpecahan di dalam
keluarga Syailendra tidak berlangsung lama. Keluarga itu akhirnya bersatu kembali. Hal ini ditandai dengan perkawinan Rakai Pikatan dan keluarga yang beragama
Hindu
dengan Pramudawardani, putri dari Samaratungga. Perkawinan itu terjadi pada tahun 832 M. Setelah
itu, Dinasti
Syailendra bersatu kembali di bawah pemerintahan Raja Pikatan.
Candi
prambanan
Setelah Samaratungga wafat, anaknya dengan Dewi Tara yang bernama Balaputradewa menunjukkan sikap menentang terhadap Pikatan. Kemudian terjadi perang
perebutan kekuasaan antara Pikatan dengan Balaputradewa. Dalam perang ini
Balaputradewa membuat benteng pertahanan
di perbukitan di sebelah selatan Prambanan. Benteng ini sekarang kira
kenal dengan candi Boko. Dalam
pertempuran, Balaputradewa terdesak dan melarikan diri ke Sumatra. Balaputradewa
kemudian menjadi raja di Kerajaan
Sriwijaya.
Kerajaan Mataram
Kuno daerahnya bertambah luas. Kehidupan agama berkembang pesat tahun 856. Rakai Pikatan turun
takhta
dan digantikan oleh
Kayuwangi atau Dyah Lokapala.
Kayuwangi kemudian digantikan
oleh Dyah Balitung. Raja Balitung
merupakan raja yang terbesar. Ia
memerintah pada tahun 898-911 M dengan gelar Sri Maharaja Rakai
Wafukura Dyah Balitung
Sri Dharmadya Mahasambu. Pada pemerintahan Balitung bidang- bidang politik, pemerintahan, ekonomi, agama, dan kebudayaan mengalami
kemajuan. Ia telah membangun candi Prambanan sebagai candi yang anggun dan megah. Relief-reliefnya
sangat indah.
Sesudah Balitung
Kerajaan Mataram mulai mundur. Raja yang berkuasa setelah
Balitung adalah Daksa, Tulodong, dan Wawa. Beberapa faktor yang menyebabkan kemunduran Mataram Kuno antara
lain adanya bencana alam dan ancaman dari musuh yaitu
Kerajaan Sriwijaya.
Kekuasaan
Dinasti Isyana
Pertentangan di antara keluarga Mataram, tampaknyaterus berlangsung hingga masa pemerintahan Mpu Sindok
pada tahun
929 M. Pertikaian yang tidak pernah berhenti itu menyebabkan Mpu
Sindok memindahkan ibu kota kerajaan dari Medang ke Daha (Jawa Timur) dan mendirikan dinasti baru yaitu Dinasti
Isyanawangsa. Disamping karena
pertentangan keluarga,
pemindahan pusat kerajaan juga dikarenakan kerajaan mengalami kehancuran akibat letusan Gunung
Merapi. Berdasarkan prasasti,
pusat pemerintahan
Keluarga Isyana terletak di Tamwlang. Letak
Tamwlang diperkirakan
dekat Jombang, sebab di Jombang
masih ada desa yang namanya mirip, yakni desa Tambelang. Daerah kekuasaannya meliputi Jawa bagian timur, Jawa bagian tengah, dan Bali.
Setelah Mpu Sindok meninggal, ia digantikan oleh anak perempuannya bernama Sri
Isyanatunggawijaya. Ia
naik takhta dan kawin
dengan Sri Lokapala. Dari perkawinan ini lahirlah
putra yang bernama Makutawangsawardana. Makutawangsawardana naik takhta
menggantikan ibunya. Kemudian pemerintahan dilanjutkan
oleh Dharmawangsa. Dharmawangsa Tguh yang memeluk
agama Hindu aliran Waisya. Pada masa pemerintahannya,
Dharmawangsa Tguh memerintahkan untuk menyadur kitab Mahabarata dalam bahasa Jawa Kuno. Setelah Dharmawangsa Tguh turun takhta
ia digantikan oleh Raja
Airlangga, yang saat itu usianya masih 16 tahun. Hancurnya kerajaan Dharmawangsa menyebabkan Airlangga berkelana ke hutan.
Selama di hutan
ia hidup
bersama pendeta sambil mendalami
agama. Airlangga kemudian dinobatkan
oleh pendeta agama Hindu dan Buddha sebagai raja.
Begitulah kehidupan agama pada masa
Mataram
Kuno. Meskipun mereka
berbeda aliran dan keyakinan, penduduk Mataram Kuno tetap menghargai perbedaan yang ada.
Setelah dinobatkan sebagai raja, Airlangga segera
mengadakan pemulihan hubungan baik dengan Sriwijaya, bahkan membantu Sriwijaya ketika
diserang Raja
Colamandala dari India
Selatan. Pada tahun 1037
M, Airlangga berhasil
mempersatukan kembali daerah-daerah
yang pernah dikuasai oleh Dharmawangsa, meliputi seluruh Jawa
Timur. Airlangga kemudian memindahkan ibu kota kerajaannya dari Daha ke Kahuripan.
Airlangga memerintahkan Mpu Bharada untuk
membagi
dua kerajaan. Kerajaan itu adalah Kediri dan
Janggala. Hal
itu dilakukan untuk
mencegah terjadinya
perang saudara
di
antara kedua putranya
yang lahir dari selir. Kerajaan
Janggala di sebelah timur diberikan
kepada putra
sulungnya yang bernama Garasakan
(Jayengrana), dengan ibukota
di Kahuripan (Jiwana). Wilayahnya meliputi daerah sekitar
Surabaya sampai Pasuruan,
dan Kerajaan Panjalu (Kediri). Kerajaan
Kediri di sebelah barat diberikan kepada putra bungsunya yang bernama Samarawijaya (Jayawarsa) dengan ibukota di Kediri (Daha), meliputi
daerah sekitar Kediri dan Madiun.
Kerajaan Kediri adalah kerajaan pertama yang mempunyai sistem administrasi kewilayahan negara berjenjang. Hierarki
kewilayahan dibagi atas tiga jenjang.
Struktur paling bawah
dikenal dengan thani (desa). Desa ini terbagi menjadi
bagian-bagian yang lebih kecil lagi yang dipimpin
oleh seorang duwan. Setingkat lebih tinggi di atasnya disebut
wisaya, yaitu sekumpulan dari desa-desa. Tingkatan paling tinggi yaitu negara
atau
kerajaan
yang
disebut dengan bhumi.
5.
Kerajaan Kediri
Kehidupan politik
pada bagian awal di Kerajaan
Kediri
ditandai dengan perang saudara
antara
Samarawijaya yang berkuasa di Panjalu
dan Panji
Garasakan yang berkuasa di Jenggala. Mereka
tidak dapat hidup berdampingan. Pada tahun 1052 M terjadi
peperangan perebutan kekuasaan
di antara kedua belah pihak. Pada tahap pertama Panji Garasakan dapat mengalahkan Samarawijaya, sehingga Panji
Garasakan berkuasa. Di Jenggala
kemudian berkuasa raja-raja pengganti Panji Garasakan. Tahun 1059 M yang memerintah adalah Samarotsaha.
Akan tetapi setelah
itu tidak
terdengar berita mengenal Kerajaan Panjalu dan Jenggala. Baru pada tahun 1104
M tampil Kerajaan Panjalu sebagai rajanya Jayawangsa. Kerajaan ini lebih dikenal
dengan nama Kerajaan Kediri dengan ibu kotanya di Daha.
Tahun 1117 M Bameswara
tampil sebagai Raja Kediri Prasasti yang ditemukan, antara lain Prasasti
Padlegan (1117
M) dan Panumbangan (1120 M). Isinya
yang penting tentang pemberian
status perdikan untuk beberapa desa.
Pada tahun 1135
M tampil raja yang sangat terkenal, yakni Raja Jayabaya. Ia meninggalkan tiga prasasti
penting, yakni
Prasasti Hantang atau Ngantang (1135 M), Talan (1136 M) dan Prasasti
Desa Jepun (1144
M). Prasasti
Hantang memuat tulisan panjalu jayati,
artinya panjalu menang. Hal itu
untuk mengenang kemenangan Panjalu atas
Jenggala. Jayabaya telah berhasil mengatasi berbagai kekacauan di kerajaan.
Di kalangan masyarakat Jawa,
nama
Jayabaya sangat dikenal karena
adanya Ramalan atau Jangka Jayabaya. Pada masa pemerintahan
Jayabaya telah digubah Kitab
Baratayuda oleh Empu Sedah dan kemudian
dilanjutkan oleh Empu Panuluh.
Sampai masa awal pemerintahan
Jayabaya, kekacauan akibat pertentangan
dengan
Janggala terus
berlangsung. Baru pada tahun 1135 M Jayabaya
berhasil memadamkan kekacauan itu. Sebagai
bukti, adanya kata-kata panjalu jayati pada prasasti Hantang. Setelah kerajaan stabil, Jayabaya mulai menata dan
mengembangkan kerajaannya.
Kehidupan Kerajaan
Kediri
menjadi teratur. Rakyat hidup makmur. Mata pencaharian yang penting adalah pertanian dengan hasil utamanya padi. Pelayaran
dan
perdagangan juga berkembang. Hal ini ditopang oleh Angkatan Laut Kediri yang cukup tangguh. Armada laut Kediri mampu menjamin keamanan perairan Nusantara. Di Kediri telah ada Senopati Sarwajala (panglima angkatan laut). Bahkan Sriwijaya yang pernah mengakui kebesaran Kediri, yang telah mampu mengembangkan pelayaran dan perdagangan. Barang perdagangan
di Kediri antara lain emas,
perak,
gading,
kayu cendana, dan pinang. Kesadaran rakyat tentang pajak sudah tinggi. Rakyat menyerahkan
barang atau
sebagian hasil buminya kepada pemerintah.
Menurut berita Cina, dan kitab Ling-wai-tai-ta diterangkan bahwa dalam
kehidupan sehari-hari orang-orang memakai kain sampai di bawah lutut.
Rambutnya diurai.
Rumah-rumah mereka bersih dan teratur, lantainya ubin yang berwarna kuning dan hijau. Dalam perkawinan, keluarga
pengantin wanita menerima mas kawin berupa emas. Rajanya berpakaian sutera, memakai
sepatu, dan perhiasan emas.
Rambutnya disanggul ke atas.
Kalau bepergian, Raja naik gajah atau kereta yang diiringi
oleh 500 sampai
700 prajurit.
Di bidang kebudayaan,
yang menonjol adalah perkembangan seni sastra dan pertunjukan wayang. Di Kediri dikenal adanya
wayang panji.
Beberapa karya sastra yang terkenal, sebagai berikut.
1.
Kitab Baratayuda
Kitab Baratayudha ditulis pada zaman Jayabaya, untuk memberikan
gambaran terjadinya perang saudara antara Panjalu melawan Jenggala. Perang saudara itu digambarkan dengan perang antara Kurawa dengan
Pandawa yang masing-masing merupakan keturunan Barata.
2.
Kitab Kresnayana
Kitab
Kresnayana ditulis oleh
Empu Triguna
pada zaman
Raja Jayaswara. Isinya mengenai perkawinan antara Kresna
dan Dewi Rukmini.
3.
Kitab Smaradahana
Kitab Smaradahana ditulis pada zaman Raja Kameswari oleh Empu Darmaja. Isinya menceritakan tentang sepasang suami istri Smara dan Rati yang menggoda Dewa Syiwa yang
sedang bertapa. Smara dan Rail kena kutuk
dan mati terbakar oleh
api (dahana) karena
kesaktian Dewa
Syiwa. Akan tetapi, kedua suami istri
itu dihidupkan lagi dan menjelma sebagai
Kameswara dan permaisurinya.
4.
Kitab Lubdaka
Kitab
Lubdaka ditulis oleh Empu
Tanakung pada
zaman Raja Kameswara. Isinya tentang seorang pemburu bernama
Lubdaka. Ia sudah banyak
membunuh. Pada suatu ketika ia
mengadakan pemujaan yang istimewa terhadap Syiwa, sehingga rohnya yang semestinya
masuk neraka, menjadi masuk surga.
Raja yang terakhir dan Kerajaan Kediri adalah Kertajaya atau Dandang
Gendis. Pada masa pemerintahannya,
terjadi pertentangan antara
raja dan para pendeta atau kaum brahmana, karena Kertajaya berlaku sombong
dan berani melanggar adat.
Hal ini memperlemah pemerintahan di
Kediri.Para brahmana kemudian mencari perlindungan
kepada Ken Arok yang merupakan penguasa di Tumapel. Pada tahun 1222 M, Ken Arok dengan dukungan
kaum brahmana menyerang Kediri. Kediri
dapat dikalahkan oleh Ken Arok.
6.
Kerajaan Singhasari
a.
Ken Arok (1222-1227 M)
Setelah
berakhirnya Kerajaan Kediri, kemudian berkembang Kerajaan Singhasari. Pusat
Kerajaan Singhasari kira-kira terletak di dekat kota
Malang,
Jawa Timur.
Kerajaan
ini didirikan oleh Ken Arok. Ken Arok berhasil tampil sebagai
raja, walaupun ia berasal dari kalangan rakyat
biasa.
Menurut
kitab
Pararaton, Ken Arok adalah anak seorang
petani dari Desa Pangkur, di sebelah timur Gunung
Kawi, daerah Malang.
Ibunya bernama Ken Endok.
Diceritakan,
bahwa pada waktu masih bayi, Ken
Arok diletakkan oleh ibunya di sebuah makam.
Bayi ini kemudian ditemu oleh seorang pencuri, bernama Lembong. Akibat dari didikan dan lingkungan keluarga pencuri, maka Ken
Arok pun menjadi seorang
penjahat yang sering menjadi buronan pemerintah Kerajaan Kediri. Suatu ketika Ken Arok berjumpa dengan pendeta Lohgawe. Ken Arok mengatakan ingin menjadi orang
baik- baik. Kemudian dengan perantaraan Lohgawe, Ken Arok
diabdikan kepada seorang
Akuwu (bupati) Tumapel, bernama Tunggul Ametung.
Setelah beberapa lama mengabdi di Tumapel, Ken Arok mempunyai keinginan untuk memperistri Ken Dedes, yang sudah menjadi istri Tunggul Ametung.
Kemudian timbul niat buruk
dari Ken
Arok untuk membunuh Tunggul Ametung agar Ken Dedes dapat
diperistri olehnya. Ternyata benar, Tunggul Ametung dapat
dibunuh oleh Ken
Arok dengan keris Empu Gandring. Setelah Tunggul Ametung terbunuh, Ken Arok menggantikan sebagai penguasa di Tumapel dan memperistri Ken
Dedes. Pada waktu diperistri Ken Arok, Ken Dedes sudah
mengandung tiga bulan, hasil perkawinan dengan Tunggul Ametung.
Pada waktu itu Tumapel hanya daerah bawahan Raja Kertajaya dari Kediri. Ken Arok ingin menjadi raja, maka
ia merencanakan menyerang Kediri. Pada
tahun 1222
M Ken Arok atas
dukungan para
pendeta melakukan serangan ke Kediri. Raja Kertajaya dapat ditaklukkan oleh Ken Arok dalam pertempurannya di Ganter, dekat Pujon, Malang. Setelah Kediri berhasil ditaklukkan, maka seluruh wilayah Kediri dipersatukan dengan Tumapel dan lahirlah Kerajaan
Singhasari.
Setelah berdiri Kerajaan Singhasari, Ken Arok tampil sebagai raja pertama. Ken Arok sebagai raja bergelar
Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabumi. Ken Arok memerintah selama lima tahun. Pada tahun 1227 M Ken Arok dibunuh oleh seorang
pengalasan atau pesuruh
dan Batil, atas perintah Anusapati. Anusapati adalah putra Ken Dedes dengan Tunggul Ametung. Jenazah
Ken Arok dicandikan di Kagenengan dalam bangunan perpaduan Syiwa-Buddha. Ken Arok meninggalkan beberapa putra. Bersama Ken Umang, Ken
Arok memiliki empat putra, yaitu Panji Tohjoyo, Panji Sudatu,
Panji Wregola, dan Dewi Rambi. Bersama Ken Dedes, Ken Arok mempunyai putra bernama Mahesa Wongateleng.
b.
Anusapati (1227 M)
Tahun 1227
M Anusapati
naik takhta Kerajaan Singhasari. Ia memerintah selama 21 tahun. Akan tetapi, ia belum banyak berbuat untuk pembangunan kerajaan.
Lambat
laun berita tentang pembunuhan Ken Arok sampai pula kepada Tohjoyo (putra Ken Arok). Oleh
karena ia mengetahui pembunuh
ayahnya adalah Anusapati, maka Tohjoyo ingin membalas
dendam, yaitu membunuh Anusapati.
Tohjoyo mengetahui bahwa Anusapati memiliki
kesukaan menyabung ayam maka ia mengajak Anusapati
untuk
menyabung ayam.
Pada saat menyabung ayam, Tohjoyo berhasil membunuh Anusapati. Anusapati dicandikan
di
Candi Kidal dekat Kota Malang sekarang. Anusapati meninggalkan
seorang putra
bernama Ronggowuni.
c.
Tohjaya (1248 M)
Setelah berhasil membunuh Anusapati, Tohjoyo naik tahta. Masa pemerintahannya sangat singkat, Ronggowuni yang
merasa berhak atas tahta
kerajaan,
menuntut tahta kepada Tohjoyo. Ronggowuni dalam hal ini dibantu
oleh Mahesa Cempaka, putra dari Mahesa Wongateleng. Menghadapi tuntutan ini, maka Tohjoyo mengirim pasukannya di bawah Lembu
Ampal untuk melawan
Ronggowuni. Kemudian terjadi
pertempuran
antara pasukan Tohjoyo dengan pengikut Ronggowuni. Dalam
pertempuran
tersebut Lembu Ampal berbalik memihak Ronggowuni. Serangan pengikut Ronggowuni semakin kuat dan berhasil
menduduki istana Singhasari. Tohjoyo berhasil meloloskan diri dan akhirnya meninggal
di daerah Katang Lumbang
akibat luka-luka yang dideritanya.
d.
Ronggowuni (1248-1268 M)
Ronggowuni naik tahta Kerajaan Singhasari tahun 1248 M. Ronggowuni
bergelar
Sri Jaya Wisnuwardana. Dalam memerintah
ia didampingi oleh Mahesa
Cempaka yang
berkedudukan sebagai Ratu Anggabaya. Mahesa
Cempaka
bergelar
Narasimhamurti.
Di
samping itu, pada tahun 1254 M Wisnuwardana juga mengangkat putranya yang bernama Kertanegara sebagai raja muda atau Yuwaraja. Pada saat itu Kertanegara masih sangat muda.
Singhasari di bawah pemerintahan Ronggowuni dan Mahesa Cempaka hidup
dalam keadaan aman dan
tenteram. Rakyat hidup dengan bertani dan
berdagang.
Kehidupan rakyat juga mulai terjamin. Raja memerintahkan untuk membangun benteng pertahanan di Canggu
Lor.
Tahun 1268 M, Ronggowuni meninggal dunia dan dicandikan
di dua tempat, yaitu sebagai Syiwa
di Waleri dan sebagai Buddha
Amogapasa di Jajagu. Jajagu kemudian dikenal dengan Candi Jago. Bentuk Candi Jago
sangat menarik, yaitu kaki candi bertingkat
tiga dan tersusun berundak-undak. Reliefnya datar dan gambar
orangnya menyerupai wayang kulit di Bali. Tokoh satria selalu diikuti
dengan punakawan.
Tidak lama kemudian Mahesa Cempaka
pun meninggal dunia. Ia dicandikan di Kumeper dan
Wudi Kucir.
e. Kertanegara
(1268-1292 M)
Tahun 1268 M Kertanegara naik tahta menggantikan
Ronggowuni. Ia bergelar
Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara. Kertanegara merupakan raja yang
paling
terkenal
di
Singhasari. Ia bercita-cita, Singhasari menjadi kerajaan yang besar. Untuk mewujudkan cita-citanya,
maka Kertanegara melakukan berbagai usaha.
Kertanegara menginginkan wilayah Singhasari
hingga meliputi seluruh
Nusantara. Beberapa daerah berhasil ditaklukkan,
misalnya Bali, Kalimantan Barat Daya,
Maluku, Sunda, dan Pahang. Penguasaan
daerah-daerah di luar Jawa yang merupakan pelaksanaan politik luar negeri bertujuan
untuk mengimbangi pengaruh
Kubilai Khan dari Cina. Pada tahun 1275 M Raja
Kertanegara
mengirimkan Ekspedisi Pamalayu di bawah pimpinan Mahesa Anabrang
(Kebo Anabrang). Sasaran
dari ekspedisi ini untuk menguasai Sriwijaya. Akan
tetapi, untuk menguasainya harus melalui daerah sekitarnya termasuk bersahabat dan menanamkan pengaruh Singhasari di Melayu. Sebagai tanda persahabatan,
Kertanegara menghadiahkan patung Amogapasa kepada penguasa Melayu. Ekspedisi Pamalayu diharapkan akan menggoyahkan Sriwijaya.
Dalam rangka
memperkuat politik luar negeranya, Kertanegara menjalin hubungan dengan
kerajaan-kerajaan lain di luar Kepulauan Indonesia. Misalnya dengan Raja Jayasingawarman III dan
Kerajaan Campa. Bahkan Raja Jayasingawarman
III
memperistri salah seorang saudara
perempuan dari Kertanegara.
Kertanegara memandang
Cina
sebagai saingan. Berkali- kali utusan Kaisar
Cina memaksa Kertanegara agar mengakui
kekuasaan Cina, tetapi ditolak
oleh Kertanegara. Terakhir pada tahun 1289
M datang utusan Cina yang dipimpin
oleh Meng- ki. Kertanegara marah, Meng-ki disakiti
dan disuruh kembali ke Cina. Hal inilah
yang membuat marah Kaisar Cina yang bernama Kubilai Khan. Ia merencanakan membalas tindakan Kertanegara.
Untuk menciptakan pemerintahan yang kuat dan teratur, Kertanegara
telah membentuk badan-badan pelaksana.
Raja sebagai penguasa tertinggi. Kemudian raja mengangkat tim penasihat yang terdiri atas
Rakryan i Hino, Rakryan i Sirikan, dan Rakryan i Halu. Untuk membantu raja dalam pelaksanaan pemerintahan, diangkat beberapa pejabat tinggi kerajaan yang terdiri atas Rakryan Mapatih, Rakryan Demung dan Rakryan Kanuruhan.
Selain itu,
ada pegawai-
pegawai rendahan.
Untuk menciptakan
stabilitas politik dalam negeri, Kertanegara melakukan penataan di lingkungan para pejabat. Orang-orang yang tidak setuju dengan cita-cita Kertanegara
diganti. Sebagai contoh,
Patih Raganata (Kebo Arema) diganti oleh
Aragani
dan
Banyak Wide
dipindahkan ke Madura,
menjadi Bupati Sumenep dengan
nama Arya Wiraraja.
Pada masa pemerintahan Kertanegara, agama Hindu
maupun Buddha berkembang dengan
baik. Bahkan terjadi Sinkretisme antara agama Hindu dan Buddha, menjadi
bentuk Syiwa-Buddha. Sebagai contoh,
berkembangnya aliran Tantrayana. Kertanegara sendiri penganut aliran Tantrayana.
Usaha untuk memperluas wilayah dan mencari dukungan
dan berbagai daerah
terus dilakukan oleh Kertanegara. Banyak
pasukan Singhasari yang dikirim ke berbagai daerah. Antara lain
pasukan yang dikirim ke tanah
Melayu. Oleh karena itu,
keadaan ibu dua kota kerajaan
kekuatannya berkurang. Keadaan ini diketahui oleh pihak-pihak
yang tidak senang
terhadap kekuasaan Kertanegara. Pihak yang tidak senang itu antara
lain Jayakatwang, penguasa Kediri. Ia berusaha menjatuhkan kekuasaan
Kertanegara.
Saat yang dinantikan
oleh Jayakatwang
ternyata telah tiba.
Istana
Kerajaan Singhasari dalam
keadaan
lemah.
Pasukan kerajaan hanya tersisa sebagian kecil. Pada saat itu, Kertanegara sedang
melakukan
upacara
keagamaan dengan
pesta pora,
sehingga Kertanegara
benar-benar lengah. Tiba- tiba, Jayakatwang menyerbu istana Kertanegara. Serangan
Jayakatwang dibagi menjadi dua arah. Sebagian
kecil
pasukan Kediri menyerang dari arah utara untuk memancing pasukan
Singhasari keluar dari pusat kerajaan. Sementara itu induk pasukan
Kediri
bergerak dan menyerang dari arah selatan.
Untuk menghadapi serangan Jayakatwang, Kertanegara mengirimkan
pasukan
yang ada di bawah
pimpinan
Raden Wijaya
dan Pangeran Ardaraja. Ardaraja adalah
anak Jayakatwang dan
menantu dari Kartanegara. Pasukan
Kediri
yang datang dari arah
utara dapat dikalahkan oleh pasukan Raden Wijaya
Akan
tetapi, pasukan
inti dengan
leluasa
masuk dan menyerang istana, sehingga berhasil menewaskan
Kertanegara. Peristiwa ini terjadi
pada tahun 1292 M. Raden Wijaya dan pengikutnya kemudian meloloskan diri
setelah mengetahui istana kerajaan
dihancurkan oleh
pasukan Kediri. Sedangkan Ardaraja
membalik dan
bergabung
dengan
pasukan Kediri.
Jenazah Kertanegara kemudian dicandikan di dua tempat, yaitu di Candi Jawi di Pandaan dan di Candi Singosari, di daerah
Singosari, Malang.
Sebagai raja yang besar, nama
Kertanegara diabadikan di berbagai tempat. Bahkan di Surabaya ada sebuah arca Kertanegara
yang menyerupai bentuk arca Buddha. Arca Kertanegara itu dinamakan arca Joko Dolok. Dengan terbunuhnya
Kertanegara maka berakhirlah Kerajaan
Singhasari.
7.
Kerajaan Majapahit
Setelah Singhasari
jatuh, berdirilah kerajaan Majapahit yang berpusat di
Jawa Timur, abad ke-14
- ke-15 M. Berdirinya
kerajaan ini sebenarnya sudah direncanakan
oleh Kertarajasa Jayawarddhana
(Raden Wijaya). Ia mempunyai tugas untuk melanjutkan
kemegahan Singhasari yang saat
itu
sudah
hampir
runtuh. Saat itu dengan
dibantu oleh Arya Wiraraja
seorang penguasa
Madura, Raden
Wijaya membuka hutan di wilayah yang disebut dalam
kitab Pararaton sebagai hutannya orang Trik. Desa itu dinamai Majapahit,
yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa “pahit” dari buah tersebut. Ketika pasukan
Mongol tiba, Raden
Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol untuk
bertempur melawan Jayakatwang.
Setelah berhasil menjatuhkan Jayakatwang, Raden Wijaya berbalik
menyerang pasukan Mongol
sehingga memaksa mereka menarik
pulang kembali pasukannya.
Pada masa pemerintahannya Raden Wijaya
mengalami pemberontakan yang dilakukan
oleh
sahabat-sahabatnya yang pernah mendukung perjuangan dalam mendirikan
Majapahit.
Setelah Raden Wijaya wafat,
ia
digantikan oleh
puteranya
Jayanegara. Jayanegara dikenal sebagai
raja yang kurang bijaksana
dan lebih suka bersenang-senang.
Kondisi itulah yang menyebabkan pembantu-pembantunya melakukan pemberontakan.
Di antara
pemberontakan tersebut, yang dianggap paling berbahaya adalah pemberontakan
Kuti. Pada saat
itu, pasukan Kuti berhasil menduduki ibu kota negara.
Jayanegara terpaksa menyingkir ke Desa Badander
di bawah perlindungan pasukan Bhayangkara pimpinan
Gajah Mada. Gajah Mada kemudian
menyusun strategi dan berhasil
menghancurkan pasukan Kuti.
Atas jasa-jasanya, Gajah Mada diangkat sebagai
patih
Kahuripan (1319-1321) dan patih Kediri (1322-1330).
Kerajaan Majapahit penuh dengan intrik politik dari dalam kerajaan itu sendiri. Kondisi yang sama juga terjadi menjelang keruntuhan Majapahit. Masa pemerintahan Tribhuwanattunggadewi Jayawisnuwarddani adalah pembentuk kemegahan kerajaan. Tribhuwana berkuasa di Majapahit sampai kematian ibunya pada tahun
1350. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam
Wuruk.
Pada masa Hayam Wuruk itulah Majapahit berada di puncak kejayaannya. Hayam Wuruk disebut juga Rajasanagara. Ia memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389.
Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada,
Majapahit mencapai zaman keemasan. Wilayah kekuasaan Majapahit sangat
luas, bahkan melebihi luas wilayah Republik Indonesia sekarang. Oleh karena itu, Muhammad Yamin menyebut Majapahit dengan sebutan negara nasional kedua di Indonesia. Seluruh kepulauan di Indonesia berada di bawah kekuasaan Majapahit. Hal ini memang tidak dapat
dilepaskan dan
kegigihan Gajah Mada. Sumpah
Palapa, ternyata
benar-benar dilaksanakan. Dalam melaksanakan cita-citanya, Gajah Mada didukung oleh beberapa tokoh, misalnya Adityawarman dan Laksamana Nala. Di bawah pimpinan Laksamana Nala Majapahit membentuk angkatan laut yang sangat kuat.
Tugas utamanya adalah mengawasi seluruh perairan yang ada di Nusantara. Di bawah
pemerintahan Hayam Wuruk, Majapahit mengalami kemajuan di berbagai bidang.
Menurut Kakawin
Nagarakertagama
pupuh
XIII-XV, daerah kekuasaan
Majapahit meliputi Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura)
dan
sebagian kepulauan Filipina. Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa,
Kamboja,
Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam,
dan bahkan mengirim duta-dutanya ke Tiongkok.
Majapahit telah mengembangkan sistem pemerintahan
yang teratur. Raja
memegang kekuasaan tertinggi. Dalam melaksanakan pemerintahan,
raja
dibantu oleh
berbagai badan atau pejabat berikut.
1.
Rakryan Mahamantri
Katrini,
dijabat oleh para putra raja, terdiri atas Rakryan i Hino, Rakryan i Sirikan, dan Rakryan i Halu.
2.
Dewan Pelaksana
terdiri atas Rakryan Mapatih
atau Patih Mangkabumi, Rakryan Tumenggung, Rakryan Demung, Rakryan Rangga dan
Rakryan Kanuruhan.
Kelima pejabat ini dikenal sebagai Sang Panca ring Wilwatika.
Di
antara kelima pejabat itu Rakryan Mapatih atau
Patih Mangkubumi merupakan pejabat yang paling penting. Ia menduduki tempat
sebagai perdana menteri. Bersama sama raja,
ia menjalankan kebijaksanaan pemerintahan. Selain itu terdapat pula dewan pertimbangan yang disebut dengan Batara Sapta Prabu.
Struktur tersebut ada
di pemerintah pusat. Di setiap daerah yang
berada di bawah raja-raja, dibuatkan
pula
struktur yang mirip.
Untuk menciptakan
pemerintahan yang bersih
dan berwibawa, dibentuklah badan peradilan yang
disebut
dengan Saptopapati.
Selain itu disusun pula kitab hukum oleh Gajah Mada yang disebut
Kitab Kutaramanawa. Gajah
Mada memang seorang negarawan yang mumpuni. Ia memahami pemerintahan strategi perang dan
hukum.
Untuk mengatur kehidupan
beragama dibentuk badan atau
pejabat
yang disebut Dharmadyaksa. Dharmadyaksa adalah pejabat
tinggi
kerajaan yang khusus
menangani
persoalan keagamaan. Di Majapahit dikenal ada dua Dharmadyaksa sebagai berikut.
1.
Dharmadyaksa ring
Kasaiwan,
mengurusi agama
Syiwa (Hindu),
2.
Dharmadyaksa ring Kasogatan, mengurusi agama Buddha.
Dalam menjalankan tugas, masing-masing Dharmadyaksa dibantu
oleh pejabat keagamaan
yang diberi sebutan Sang Pamegat.
Kehidupan beragama
di Majapahit berkembang semarak. Pemeluk yang beragama Hindu maupun Buddha
saling bersatu. Pada masa
itupun
sudah
dikenal
semboyan Bhinneka Tunggal Ika, artinya, sekalipun berbeda-beda baik Hindu
maupun Buddha
pada
hakikatnya adalah satu jua. Kemudian
secara
umum
kita artikan berbeda-beda akhirnya satu jua.
Berkat kepemimpinan
Hayam Wuruk dan Gajah Mada, kehidupan politik, dan stabilitas nasional
Majapahit terjamin. Hal ini disebabkan pula karena
kekuatan tentara Majapahit dan angkatan
lautnya sehingga
semua
perairan nasional
dapat diawasi.
Majapahit juga menjalin hubungan dengan negara- negara/ kerajaan
lain. Hubungan dengan Negara Siam, Birma,
Kamboja, Anam, India, dan Cina
berlangsung dengan baik. Dalam
membina
hubungan dengan luar negeri, Majapahit
mengenal motto Mitreka Satata, artinya negara sahabat.
Di bawah
pemerintahan Raja
Hayam Wuruk,
rakyat Majapahit hidup aman dan
tenteram. Hayam Wuruk sangat memperhatikan rakyatnya. Keamanan dan kemakmuran rakyat diutamakan. Untuk
itu dibangun jalan-jalan dan jembatan-
jembatan. Dengan demikian lalu lintas menjadi lancar. Hal ini mendukung kegiatan keamanan dan kegiatan perekonomian, terutama perdagangan. Lalu lintas perdagangan yang paling penting melalui sungai.
Misalnya, Sungai Bengawan Solo
dan Sungai Brantas. Akibatnya desa-desa
di tepi sungai dan yang berada
di muara serta di tepi pantai, berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan.
Hal itu menyebabkan terjadinya arus bolak-balik para pedagang yang menjajakan barang
dagangannya dari daerah pantai
atau muara ke pedalaman atau sebaliknya.Bahkan di
daerah pantai berkembang perdagangan
antar daerah, antar pulau,
bahkan dengan
pedagang dari luar.Kemudian
timbullah kota-kota pelabuhan sebagai pusat
pelayaran
dan perdagangan.
Beberapa kota
pelabuhan yang penting pada zaman Majapahit, antara lain
Canggu, Surabaya,
Gresik, Sedayu,
dan
Tuban. Pada
waktu itu banyak pedagang dari luar seperti dari Cina India,
dan Siam.
Adanya pelabuhan-pelabuhan
tersebut mendorong munculnya kelompok
bangsawan kaya. Mereka
menguasai pemasaran bahan-bahan dagangan pokok dari dan ke daerah- daerah Indonesia Timur dan Malaka.
Kegiatan pertanian
juga dikembangkan. Sawah dan
ladang dikerjakan secukupnya
dan dikerjakan secara bergiliran. Hal ini maksudnya agar tanah tetap
subur dan tidak kehabisan
lahan pertanian.
Tanggul-tanggul di sepanjang
sungai diperbaiki untuk mencegah bahaya
banjir.
Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, bidang
sastra mengalami kemajuan.
Karya sastra
yang paling terkenal
pada zaman Majapahit adalah Kitab Negarakertagama. Kitab ini ditulis oleh Empu Prapanca pada tahun 1365 M. Di samping menunjukkan kemajuan
di bidang sastra,
Negarakertagama juga merupakan sumber sejarah Majapahit.
Kitab lain yang penting
adalah
Sutasoma. Kitab ini disusun
oleh
Empu Tantular. Kitab Sutasoma memuat kata-kata
yang sekarang menjadi semboyan negara Indonesia, yakni Bhinneka Tunggal Ika. Di samping itu, Empu Tantular juga menulis
kitab Arjunawiwaha.
Bidang seni bangunan juga berkembang. Banyak bangunan candi telah dibuat. Misalnya Candi
Penataran dan Sawentar di daerah Blitar, Candi Tigawangi dan
Surawana di dekat Pare, Kediri,
serta Candi Tikus
di Trowulan. Keruntuhan Majapahit lebih disebabkan oleh ketidakpuasan
sebagian besar keluarga raja, setelah
turunnya
Hayam
Wuruk. Perang Paregrek
telah
melemahkan unsur-unsur
kejayaan Majapahit. Meskipun
peperangan berakhir, Majapahit terus mengalami kelemahan karena
raja yang berkuasa tidak mampu lagi mengembalikan kejayaannya.
Unsur
lain yang menyebabkan runtuhnya Majapahit adalah
semakin meluasnya pengaruh
Islam pada saat itu.
Kemajuan peradaban Majapahit itu tidak hilang
dengan
runtuhnya kerajaan itu. Pencapaian
itu terus dipertahankan hingga masa perkembangan Islam di Jawa. Peninggalan peradaban Majapahit juga dapat
kita saksikan pada perkembangan
lingkup kebudayaan
Bali pada
saat
ini. Kebudayaan yang masih dikembangkan hingga masa Islam adalah cerita
wayang yang berasal dari epos India yaitu Mahabharata dan Ramayana, serta kisah
asmara Raden
Panji dengan Sekar Taji (Galuh
Candrakirana). Selain
itu dapat kita saksikan juga
pada
unsur
arsitekturnya
bentuk atap tumpang, seni ukir sulur-suluran
dan tanaman melata, senjata keris,
lokasi keramat, dan masih
banyak lagi.
8.
Kerajaan Buleleng
Menurut berita
Cina di sebelah
timur
Kerajaan
Kaling ada daerah
Po-li atau Dwa-pa-tan yang dapat disamakan dengan Bali. Adat istiadat
di Dwa-pa-tan sama
dengan kebiasaan
orang-orang Kaling. Misalnya, penduduk biasa
menulisi daun lontar. Bila ada orang meninggal, mayatnya dihiasi dengan emas dan ke dalam
mulutnya dimasukkan sepotong emas, serta diberi bau-bauan yang harum. Kemudian mayat itu dibakar. Hal itu menandakan
Bali
telah berkembang.
Dalam sejarah
Bali, nama Buleleng mulai terkenal setelah periode
kekuasaan Majapahit.
Pada waktu di Jawa
berkembang kerajaan-kerajaan Islam, di Bali juga berkembang sejumlah kerajaan. Misalnya Kerajaan
Gelgel, Klungkung, dan Buleleng yang didirikan oleh I Gusti Ngurak Panji Sakti, dan
selanjutnya
muncul
kerajaan yang lain. Nama
Kerajaan
Buleleng
semakin
terkenal, terutama setelah
zaman
penjajahan Belanda di Bali. Pada waktu
itu pernah
terjadi perang rakyat Buleleng
melawan Belanda.
Pada zaman kuno,
sebenarnya Buleleng sudah berkembang.
Pada masa perkembangan
Kerajaan Dinasti Warmadewa, Buleleng diperkirakan menjadi
salah satu daerah kekuasaan Dinasti
Warmadewa. Sesuai dengan letaknya yang ada di tepi pantai,
Buleleng berkembang menjadi pusat perdagangan laut. Hasil pertanian dari pedalaman diangkut lewat darat menuju Buleleng. Dari Buleleng barang dagangan
yang berupa
hasil pertanian
seperti kapas, beras, asam,
kemiri, dan bawang diangkut atau diperdagangkan
ke
pulau
lain
(daerah seberang).
Perdagangan dengan
daerah seberang mengalami perkembangan pesat pada masa Dinasti Warmadewa yang diperintah oleh
Anak Wungsu. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kata-kata pada
prasasti yang disimpan di Desa Sembiran
yang berangka tahun 1065.
Kata-kata yang dimaksud berbunyi, “mengkana
ya hana banyaga
sakeng
sabrangjong,
bahitra, rumunduk i manasa.
….. Artinya, andai kata ada saudagar dari seberang yang datang dengan jukung bahitra datang berlabuh di manasa …..”
Sistem perdagangannya ada yang
menggunakan sistem barter, ada yang
sudah dengan alat tukar (uang).
Pada waktu itu sudah
dikenal beberapa jenis alat tukar (uang),
misalnya ma, su dan piling.
Dengan perkembangan
perdagangan laut antar pulau
di zaman kuno secara ekonomis
Buleleng memiliki peranan yang penting
bagi perkembangan kerajaan-kerajaan di
Bali misalnya pada masa
Kerajaan Dinasti Warmadewa.
Daftar Pustaka
Poesponegoro, Marwati Djoened. 2010. Sejarah
Nasional Indonesia II : Zaman Kuno. Jakarta : Balai pustaka.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013.
Sejarah Indonesia : Kelas X. Jakarta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
0 komentar:
Posting Komentar