Penulisan sejarah (historiografi) di Indonesia umumnya digolongkan
kedalam tiga tahapan perkembangan yaitu historiografi tradisional,
historiografi kolonial, dan historiografi modern Indonesia. Dan setiap historiografi
tersebut masing-masing memililiki ciri-ciri yang berbeda dan jenis yang
dihasilkanpun berbeda.
Historiografi Tradisional
Historiografi tradisional adalah tradisi penulisan sejarah yang
berlaku pada masa setelah masyarakat Indonesia mengenal tulisan, baik pada
Zaman Hindu-Budha maupun pada Zaman Islam. Ada pada abad 4 M sampai abad 17 M. Hasil
tulisan sejarah dari masa ini sering disebut sebagai naskah. Contoh
Historiografi tradisional:
Babad Tanah Jawi, Babad Kraton, Babad Diponegoro, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Silsilah Raja Perak, Hikayat Tanah Hitu, Kronik Banjarmasin, dsb.
Babad Tanah Jawi, Babad Kraton, Babad Diponegoro, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Silsilah Raja Perak, Hikayat Tanah Hitu, Kronik Banjarmasin, dsb.
Adapun ciri-ciri historiografi tradisional yaitu:
- Penulisannya bersifat istana sentris yaitu berpusat pada keinginan dan kepentingan raja. Berisi masalah-masalah pemerintahan dari raja-raja yang berkuasa. Menyangkut raja dan kehidupan istana.
- Memiliki subjektifitas yang tinggi sebab penulis hanya mencatat peristiwa penting di kerajaan dan permintaan sang raja.
- Bersifat melegitimasi (melegalkan/mensahkan) suatu kekuasaan sehingga seringkali anakronitis (tidak cocok)
- Kebanyakan karya-karya tersebut kuat dalam genealogi (silsilah) tetapi lemah dalam hal kronologi dan detil-detil biografis.
- Pada umumnya tidak disusun secara ilmiah tetapi sering kali data-datanya bercampur dengan unsur mitos dan realitas (penuh dengan unsur mitos).
- Sumber-sumber datanya sulit untuk ditelusuri kembali bahkan terkadang mustahil untuk dibuktikan.
- Dipengaruhi oleh faktor budaya masyarakat dimana naskah tersebut ditulis sehingga merupakan hasil kebudayaan suatu masyarakat.
- Cenderung menampilkan unsur politik semata untuk menujukkan kejayaan dan kekuasaan sang raja.
Banyak sejarawan yang awalnya sampai tahun 1960-an tidak mau
menggunakan naskah-naskah tersebut sebagai sumber atau referensi karya ilmiah.
Akan tetapi, pada perkembangannya karena melalui berbagai penelitian
membuktikan bahwa bayak hal yang ditulis dalam naskah tradisional tersebut
dapat terungkap pula dalam sumber-sumber sejarah yang lain maka mereka mulai
menganggap bahwa naskah/ historiografi tradisional tersebut dapat pula
dijadikan sumber atau acuan sejarah.
Historiografi Kolonial
Ada pada abad 17-abad 20 M. Historiografi kolonial merupakan
historiografi warisan kolonial dan penulisannya digunakan untuk kepentingan
penjajah.
Ciri-cirinya:
Ciri-cirinya:
1. Tujuannya
untuk memperkuat kekuasaan mereka di Indonesia. Jadi disusun untuk membenarkan
penguasaan bangsa mereka terhadap bangsa pribumi (Indonesia). Sehingga untuk
kepentingan tersebut mereka melupakan pertimbangan ilmiah.
2.
Selain
itu semuanya didominasi untuk tindakan dan politik kolonial.
3.
Historiografi
kolonial hanya mengungkapkan mengenai orang-orang Belanda dan peristiwa di
negeri Belanda serta mengagung-agungkan peran orang Belanda sedangkan orang-orang
Indonesia hanya dijadikan sebagai objek.
4. Historiografi
kolonial memandang peristiwa menggunakan sudut pandang kolonial. Sifat historiografi
kolonial eropasentris.
5.
Ditujukan
untuk melemahkan semanangat para pejuang atau rakyat Indonesia.
Seperti contohya: Orang Belanda menyebut ”pemberontakan” bagi
setiap perlawanan yang dilakukan oleh daerah untuk melawan kekuasaan Belanda/
kekuasaan asing yang menduduki tanah airnya. Oleh Belanda itu dianggap sebagai
”perlawanan terhadap kekuasaannya yang sah sebagai pemilik Indonesia”. Seperti
Perlawanan yang dilakukan oleh Diponegoro, Belanda menganggap itu sebagai
”Pemberontakan Diponegoro”.
Telah ada upaya untuk melakukan kritik terhadap beberapa tulisan
orang Belanda seperti tulisan Geschiedenis van Nederlandsche-Indie (Sejarah
Hindia Belanda) oleh Stapel yang dikritik J.C van Leur. Salah satu
ungkapannya”jangan melihat kehidupan masyarakat hanya dari atas geladak kapal
saja”, artinya jangan menuliskan masyarakat Hindia hanya dari sudut penguasa
saja dengan mengabaikan sumber-sumber pribumi sehingga peranan pribumi tidak
nampak sementara yang ada hanyalah aktivitas bangsa Belanda di Hindia.
Tetapi justru pendapat Stapel yang tenar di kalangan masyarakat Indonesia, salah satu pendapatnya yang masih dipercaya dan melekat dalam benak sebagian besar masyarakat Indonesia adalah bahwa bangsa Indonesia telah dijajah Belanda selama 350 tahun (1595-1545). Hal ini berarti bahwa bangsa Indonesia dijajah sejak tahun 1595 sewaktu Cornelis de Houtman berangkat dari negeri Belanda untuk mencari pulau penghasil rempah-rempah di dunia Timur. Dia sampai di Indonesia tahun 1596. Indonesia masih mengalami kekuasaan VOC (1602-1619), Inggris (1811-1816), Van den Bosh (1816-1830), Penghapusan Tanam Paksa(1830-1870), Liberalisme (1870-1900), Politik Etis (1900-1922), Sistem Administrasi Belanda (1922-1942), Jepang (1942-1945).
Tetapi justru pendapat Stapel yang tenar di kalangan masyarakat Indonesia, salah satu pendapatnya yang masih dipercaya dan melekat dalam benak sebagian besar masyarakat Indonesia adalah bahwa bangsa Indonesia telah dijajah Belanda selama 350 tahun (1595-1545). Hal ini berarti bahwa bangsa Indonesia dijajah sejak tahun 1595 sewaktu Cornelis de Houtman berangkat dari negeri Belanda untuk mencari pulau penghasil rempah-rempah di dunia Timur. Dia sampai di Indonesia tahun 1596. Indonesia masih mengalami kekuasaan VOC (1602-1619), Inggris (1811-1816), Van den Bosh (1816-1830), Penghapusan Tanam Paksa(1830-1870), Liberalisme (1870-1900), Politik Etis (1900-1922), Sistem Administrasi Belanda (1922-1942), Jepang (1942-1945).
Historiografi
Modern Indonesia/ historiografi nasional
Ada pada abad 20 M- sekarang. Setelah kemerdekaan bangsa Indonesia
maka masalah sejarah nasional mendapat perhatian yang relatif besar terutama
untuk kepentingan pembelajaran di sekolah sekaligus untuk sarana pewarisan
nilai-nilai perjuangan serta jati diri bangsa Indonesia. Ditandai dengan:
1. Mulai
muncul gerakan Indonesianisasi dalam berbagai bidang sehingga istilah-istilah
asing khususnya istilah Belanda mulai diindonesiakan selain itu buku-buku
berbahasa Belanda sebagian mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
2. Mulai
Penulisan sejarah Indonesia yang berdasarkan pada kepentingan dan kebutuhan
bangsa dan negara Indonesia dengan sudut pandang nasional.
3.
Orang-orang
dan bangsa Indonesialah yang menjadi subjek/pembuat sejarah, mereka tidak lagi
hanya sebagai objek seperti pada historiografi kolonial.
4.
Penulisan
buku sejarah Indonesia yang baru awalnya hanya sekedar menukar posisi antara
tokoh Belanda dan tokoh Indonesia.
5. Jika
awalnya tokoh Belanda sebagai pahlawan sementara orang pribumi sebagai
penjahat, maka dengan adanya Indonesianisasi maka kedudukannya terbalik dimana
orang Indonesia sebagai pahlawan dan orang Belanda sebagai penjahat tetapi alur
ceritanya tetap sama.
Keadaaan yang demikian membuat para sejarawan dan pengamat sejarah
terdorong untuk mengadakan ”Kongres Sejarah Nasional” yang pertama yaitu pada
tahun 1957. Pada kongres kedua namanya diubah menjadi ”Seminar Nasional
Sejarah”, membicarakan mengenai rencana untuk pembuatan sebuah buku sejarah
nasional baru dengan harapan dapat dijadikan semacam buku referensi.
Oleh karena itu penulisan sejarah yang seharusnya adalah:
Sebuah
penulisan yang tidak sekedar mengubah pendekatan dari eropasentris menjadi
indonesiasentris, tetapi juga menampilkan hal-hal baru yang sebelumnya belum
sempat terungkap.
2.
Penulisan
sejarah dengan cara yang konvensional (yang hanya mengandalkan naskah sebagai
sumber sejarah) yang bersifat naratif, deskriptif, kedaerahan, serta tema-tema
politik dan penguasa diganti dengan cara penulisan sejarah yang kritis
(struktural analitis)
3.
Menggunakan
pendekatan multidimensional. Caranya yaitu dengan menggunakan teori-teori ilmu
sosial untuk menjelaskan kejadiaan sejarah sesuai dengan dimensinya dengan
menggunakan sumber-sumber yang lebih beragam daripada masa sebelumnya.
4.
Mengungkapkan
dinamika masyarakat Indonesia dari berbagai aspek kehidupan yang kemudian dapat
dijadikan bahan kajian untuk memperkaya penulisan sejarah Indonesia.
Sebagai contoh: Tulisan berjudul ”Pemberontakan Petani di Banten 1888” oleh Sartono Kartodirdjo, seorang sejarawan Indonesia pertama yang menggunakan metode multidimensional dalam penulisannya.
Sebagai contoh: Tulisan berjudul ”Pemberontakan Petani di Banten 1888” oleh Sartono Kartodirdjo, seorang sejarawan Indonesia pertama yang menggunakan metode multidimensional dalam penulisannya.
Penulisan sejarah Indonesia modern bertujuan untuk melakukan
perbaikan dengan menggantiklan beberapa hal seperti:
1.
Adanya
pandangan religio-magis serta kosmologis seperti tercermin dalam babad atau
hikayat diganti dengan pandangan empiris-ilmiah.
2.
Adanya
pandangan etnosentrisme diganti dengan pandangan nationsentris.
3.
Adanya
pandangan sejarah kolonial-elitis diganti dengan sejarah bangsa Indonesia
secara keseluruhan yang mencakup berbagai lapisan sosial.
0 komentar:
Posting Komentar