Senin, 27 Juli 2015

KERAJAAN SINGHASARI DAN MAJAPAHIT

Diposting oleh Pernak Pernik Sejarah di 19.05
A.    FILOLOGI
1.    Kitab Pararaton (Singhasāri dan Majapahit)
       Serat Pararaton boleh dikatakan sebuah kitab (pedoman). Sebagai kitab, tentu karya ini tidak sekedar sastra biasa. Riwayat Ken Angrok tertulis dalam kitab Pararaton atau Katuturanira Ken Angrok. Kitab tersebut ditulis dalam bentuk prosa pada akhir abad ke XV. Dalam kitab Pararaton diberikan uraian panjang lebar mengenai asal usul dan masa muda Ken Angrok. Diceritakan bahwa Ken Angrok lahir atas perzinahan Ken Endok dengan dewa Brahma. Diceritakan pula mengenai kenakalan Ken Angrok sewaktu mudanya. Lalu dengan perantara seorang Danghyang Lohgawe Ken Angrok diterima mengabdi pada Tunggul Ametung. Akan tetapi karena ketamakan dan cintanya terhadap Ken Dedes, istri Tunggul Ametung, dibunuhlah Tunggul Ametung olehnya. Dengan mengkambinghitamkan temannya. Singkat cerita Ken Angrok menikahi Ken Dedes dan menjadi maharaja di Tumapel, setelah menaklukkan negeri Daha terlebih dahulu pada tahun 1169 Šaka.
      Menurut uraian cerita Pararaton yang ditulis pada sekitar abad ke-14 Masehi tentang Kerajaan Singhasāri, di dalam keluarga raja sebenarnya terdapat tiga garis keturunan yang secara bergantian memegang tampuk kekuasaan, baik secara damai maupun melalui pembunuhan.
       Garis keluarga pertama adalah keturunan Tuńgul Ametung hasil perkawinannya dengan Ken Dedes. Garis keluarga kedua juga masih ada kaitannya dengan Ken Dedes. Namun kali ini dari hasil perkawinannya dengan Ken Angrok dengan Ken Umang, istri keduanya. Dari ketiga unsur keluarga tersebut, keturunan dari Tuńgul Ametung yang paling sering tampil sebagai penguasa kerajaan, termasuk Kŗtanagara. Sesuatu yang agak janggal sebenarnya bila diingat bahwa Ken Angrok-lah pendiri Kerajaan Singhasāri, bukan Tuńgul Ametung. Ken Angrok selain pendiri kerajaan, juga pendiri dinasti Rājasa dan bergelar Śrī Ranggah Rājasa.
       Kŗtanagara naik tahta Singhasāri secara damai menggantikan ayahnya Jaya Wisnuwarddhana (Ranggawuni) yang wafat pada tahun 1268 Masehi. Kŗtanagara memerintah pada tahun 1268-1292 Masehi. Selama masa pemerintahannya banyak kejadian penting dalam sejarah, antara lain menolak untuk tunduk kepada Kubilai Khan dari Mongol. Untuk mencegah serbuan Mongol, Kŗtanagara mengadakan hubungan persahabatan dengan Kerajaan Mālayu-Dharmaśraya di daerah hulu Batanghari. Sebagai tanda persahabatan, pada tahun 1275 Masehi Kŗtanagara mengirimkan ekspedisi Pamalayu, dan pada tahun 1286 Kŗtanagara mengirimkan arca Amoghapāśa ke Mālayu. Mengenai ekspedisi ini disebutkan di dalam Kitab Pararaton dan pengiriman arca disebutkan dalam prasasti pada alas arca Amoghapāśa yang ditemukan di daerah Padangroco dan Rambahan, Sumatra Barat.
       Kerajaan Singhasāri hancur bukan karena serbuan tentara Mongol, tetapi karena serbuan Jayakatwang (raja bawahan Singhasāri) yang menaruh dendam kepada keturunan pendiri Singhasāri. Jayakatwang menyerang Singhasāri karena hasutan Wiraraja, bupati Sumenep (Madura) yang tidak senang atas pemerintahan Kŗtanagara. Pasukan Jayakatwang yang datang dari selatan berhasil menyerang keraton. Pada waktu itu Kŗtanagara sedang menjalankan upacara Tantris dengan cara minum minuman keras sampai mabuk. Raja Singhasāri itu mati terbunuh bersama patih dan pembesar kerajaan. Sebagai penghormatan, Kŗtanagara di-dharma-kan di Candi Jajawi sebagai Bhaţāra Śiwabudha, dan di Candi Singosari sebagai Bhairawa.
2.      Kitab Nāgara Kṛtāgama (Singhasāri dan Majapahit)
Kakawin Nãgarakŗtagãma memberikan keterangan berbeda dengan kitab Pararaton. Dikatakan bahwa pada tahun 1104 Šaka ada seorang raja yang kelak merupakan pendiri dinasti Rãjasa (Rãjasawangša). Raja tersebut pada tahun 1144 Šaka berhasil melawan raja Kertajaya dari Kadiri. Kemudian pada tahun 1170 Šaka raja tersebut mati dan dicandikan di Kagenengan.
Nagarakretagama tersusun dari puluhan pupuh (syair). Beberapa di antaranya mempunyai kesesuaian dengan beberapa sumber, seperti prasasti dan naskah lain yang sezaman. Pupuh 2, mengisahkan nenek dan ibu raja Hayam Wuruk. Dikatakan, nenek raja adalah Rajapatni yang merupakan gelar dari Gayatri. Gayatri adalah anak bungsu Kertanegara yang diperistri Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana).
Keterangan serupa ternyata ada pada prasasti Sukamerta (1296 Masehi) dan Balawi (1305 Masehi). Kedua prasasti menyebutkan, Kertarajasa adalah menantu Kertanegara karena dia memperistri empat anak Kertanegara. Salah satunya bernama Dewi Gayatri. Yang amat mendukung, kisah Gayatri dapat pula diintisarikan dari kidung Harsawijaya (berisi sejarah awal Majapahit) dan Pararaton (berisi sejarah kerajaan Singasari dan Majapahit).
Selanjutnya pupuh 8 Nagarakretagama menggambarkan ibu kota Majapahit sebagai berikut, "Tersebut keajaiban kota: tembok batu merah, tebal tinggi, mengitari pura...." (Slametmulyana, Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya, 1979). Hal ini mirip penjelasan Berita Cina yang ditulis Ma-huan saat mengunjungi Majapahit. Ma-huan melaporkan adanya sebuah tempat bernama Majapahit, tempat tinggal raja yang dikelilingi tembok bata setinggi lebih dari 30 kaki dan luasnya sekitar 3-4 li.
Pernyataan itu setidaknya mengandung keotentikan, sebagaimana diperlihatkan sejumlah bukti arkeologis di Trowulan. Sisa-sisa bangunan yang ada seluruhnya menggunakan bahan bata merah dan umumnya ditemukan berbentuk bangunan bertembok tebal dan tinggi.
3.      Kidung Harsa Wijaya (Singhasāri dan Majapahit)
       Kidung Harsawijaya menceritakan tentang jatuhnya kerajaan Singasari dan munculnya kerajaan baru yang berlandaskan pada kerajaan sebelumnya, Majapahit. Singasari dipimpin oleh raja yang bernama Narashinga, beserta permaisurinya raja memiliki putera bernama Harsawijaya. Harsawijaya adalah putera raja yang cerdas, tampan dan gagah berani.
       Sepeninggal raja narashinga dan permaisurinya takhta kerajaan diwariskan secara sementara kepada sepupu raja, Kertanegara sampai pangeran Harsawijaya sudah cukup umur untuk bertakhta menggantikan ayahnya. Namun selama kepemimpinan Kertanegara kerajaan Singasari mengalami kemunduran, banyak para brahmana dan para pejabat tinggi mengundurkan diri karena tidak setuju dengan cara Kertanegara menggunakan kekuasaannya. Ketika Harsawijaya sudah cukup umur untuk dinobatkan sebagai raja, Kertanegara mengundurkan diri dan memutuskan untuk menyerahkan puterinya sendiri Puspawati dan Pusparasmi kepada Harsawijaya untuk dijadikan isteri.
       Kemudian Anengah, sang patih mengusulkan agar diadakan suatu ekspedisi ke Melayu dan memaksa raja negri itu untuk menyerahkan kedua puterinya Dara Petak dan Dara Jingga kepada Harsawijaya untuk dijadikan permaisuri. Raganata pun juga sudah memperingatkan bahwa Jayakatwang raja Kadiri sudah lama tidak menghadap ke Singasari namun peringatan dari Raganata diabaikan dan istana pun dibiarkan dengan pasukan penjaga yang sangat minim. Akhirnya ekspedisi dimulai dari Tuban. melihat keadaan keraton yang tidak dilindungi oleh pasukan-pasukan maka Wiraraja pejabat yang dipecat pada masa pemerintahan Narashinga menggunakan kesempatan itu untuk balas dendam. Segera Wiraraja mengutus anaknya Wirondaya untuk datang ke Kadiri menghasut Jayakatwang agar ia memberontak Singasari. kemudian Jayakatwang meminta nasihat kepada patihnya, patihnya pun menyarankan untuk tidak menyianyiakan kesempatan itu dan kembali merebut kemerdekaannya.
       Akhirnya Jayakatwang membagi pasukannya menjadi dua bagian, pasukan pertama menyerang dari arah utara dan pasukan kedua dari arah selatan. Pasukan dari arah utara berhasil dikalahkan oleh Singasari namun tidak menyangka bahwa pasukan dari selatan yang sebelumnya bersembunyi dihutan telah memberontak didalam keraton, akhirnya Singasari lumpuh, Kertanegara tewas dan Harsawijaya lari ke arah timur karena tidak mampu melawan pasukan Kadiri. akhirnya kemenangan saat itu ditangan Daha (Kadiri).
       Ekspedisi melayu berhasil dilakukan, para rombongan membawa 2 puteri raja, namun mendengar Singasari telah dikuasai oleh Kadiri para rombongan memutuskan untuk membantu Harsawijaya untuk merebut tahta kerajaannya.
       Kemudian raja Tatar mengutus patihnya untuk meminta putri yang telah dijanjikan sebelumnya. Namun Wiraraja menyampaikan bahwa sang putri meninggal bunuh diri bersama warga istana Daha. Hal itu membuat raja Tatar kecewa dan marah, ia memutuskan untuk berbalik merebut Pusparasmi. Harsawijaya bersiaga ketika pasukan tar tar mendekat, ia tidak ingin kehilangan Pusparasmi, maka ia memastikan dan bertanya kepada Pusparasmi apakah sang putri bersedia menjadi isteri raja Tatar namun Pusparasmi menolaknya dengan marah. Akhirnya terjadi pertempuran, pasukan Tatar kalah telak dan rajanya pun meninggal. Setelah pasukan Majapahit menang Harsawijaya mengundang Mpu Santasmrti yang bersemayam di himagiri untuk melakukan upacara pensucian dan penobatan Harsawijaya sebagai raja. Namun selang satu bulan Brahmana baru sampai di Majapahit, penobatan terjadi pada tanggal 15 bulan karttika. Harsawijaya diberi gelar Kertarajasa Jayawardhana. Dan mulai pada saat  itu semua sahabat-sahabat seperjuangannya diangkat menjadi pejabat tinggi. Dan semua pulau-pulau dinusantara mengakui bahwa kedaulatan Majapahit sebagai pemimpin mereka.
4.      Kidung Serat Arok (Singhasāri)
       Teks yang diringkas terdiri dari 10 pupuh; berisi tentang rencana pembalasan Adipati Surabaya terhadap Sri Arok yang telah membunuh Tunggul Ametung. Teks diakhiri dengan pengembaraan permaisuri Adipati Surabaya dengan putranya yang bernama Jaran Panulis. Akhirnya Jaran Panulis naik tahta menggantikan ayahnya (Adipati Surabaya).
5.      Kidung Panji Wijayakrama (Majapahit)
Kidung Panji Wijayakrama dan Kidung Ranggalawe menguraikan kisah kematian Ranggalawe dengan panjang lebar, serta menyebutkan bahwa yang berhasil membunuh adipati Tuban tersebut adalah Mahisa Anabrang. Dikisahkan bahwa pasukan Majapahit dipimpin Nambi, Lembu Sora, dan Mahisa Anabrang berangkat untuk menumpas Ranggalawe.
Perang terjadi di dekat Sungai Tambak Beras. Mahisa Anabrang bertarung melawan Ranggalawe di dalam sungai, yang dimenangkan oleh Mahisa Anabrang. Lembu Sora yang adalah paman Ranggalawe, tidak rela melihat keponakannya dibunuh, Ia lalu membunuh Mahisa Anabrang, rekannya sendiri dari belakang.
Tewasnya Ranggalawe. mengakhiri perang saudara pertama dalam sejarah Majapahit. Kidung Sorandaka mengisahkan keluarga Mahisa Anabrang tidak berani menuntut hukuman untuk Lembu Sora karena ia merupakan pembantu kesayangan Raden Wijaya.
Baru pada tahun 1300 seorang putra Mahisa Anabrang bernama Mahisa Taruna mendapat bantuan seorang tokoh bernama Mahapati Mereka pun berhasil menyingkirkan Lembu Sora dari jajaran pemerintahan Majapahit. Peristiwa yang terjadi selanjutnya ialah pembunuhan Lembu Sora oleh pasukan Nambi akibat fitnah yang dilancarkan Mahapati.
B.       Pararaton
Kitab Pararaton isinya sebagian besar adalah mitos atau dongeng tetapi dari kitab Pararatonlah asal usul Ken Arok menjadi raja dapat diketahui. Sebelum menjadi raja, Ken Arok berkedudukan sebagai Akuwu (Bupati) di Tumapel menggantikan Tunggul Ametung yang dibunuhnya, karena tertarik pada Ken Dedes istri Tunggul Ametung. Selanjutnya ia berkeinginan melepaskan Tumapel dari kekuasaan kerajaan Kadiri yang diperintah oleh Kertajaya. Keinginannya terpenuhi setelah kaum Brahmana Kadiri meminta perlindungannya. Dengan alasan tersebut, maka tahun 1222 M /1144 C Ken Arok menyerang Kediri, sehingga Kertajaya mengalami kekalahan pada pertempuran di desa Ganter. Ken Arok yang mengangkat dirinya sebagai raja Tumapel bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi.
C.      Arkeologis
1.         Candi Jago
Menurut kitab Negarakertagama dan Pararaton, nama candi ini yang sebenarnya adalah Jajaghu. Dalam pupuh 41 gatra ke-4 Negarakertagama dijelaskan bahwa Raja Wisnuwardhana yang memerintah Singasari menganut agama Syiwa Buddha, yaitu suatu aliran keagamaan yang merupakan perpaduan antara ajaran Hindu dan Buddha. Aliran tersebut berkembang selama masa pemerintahan Kerajaan Singasari, sebuah kerajaan yang letaknya sekitar 20 km dari Candi Jago. Jajaghu, yang artinya adalah 'keagungan', merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut tempat suci.
Masih menurut kitab Negarakertagama dan Pararaton, pembangunan Candi Jago berlangsung sejak tahun 1268 M sampai dengan tahun 1280 M, sebagai penghormatan bagi Raja Singasari ke-4, yaitu Sri Jaya Wisnuwardhana. Walaupun dibangun pada masa pemerintahan Kerajaan Singasari, disebut dalam kedua kitab tersebut bahwa Candi Jago selama tahun 1359 M merupakan salah satu tempat yang sering dikunjungi Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit. Keterkaitan Candi Jago dengan Kerajaan Singasari terlihat juga dari pahatan padma (teratai), yang menjulur ke atas dari bonggolnya, yang menghiasi tatakan arca-arcanya. Motif teratai semacam itu sangat populer pada masa Kerajaan Singasari. Yang perlu dicermati dalam sejarah candi adalah adanya kebiasaan raja-raja zaman dahulu untuk memugar candi-candi yang didirikan oleh raja-raja sebelumnya. Diduga Candi Jago juga telah mengalami pemugaran pada tahun 1343 M atas perintah Raja Adityawarman dari Melayu yang masih memiliki hubungan darah dengan Raja Hayam Wuruk.
2.         Arca Amoghapasa
Pada tahun 1275 Masehi Kŗtanagara mengirimkan ekspedisi Pamalayu, dan pada tahun 1286 Kŗtanagara mengirimkan arca Amoghapāśa ke Mālayu. Mengenai ekspedisi ini disebutkan di dalam Kitab Pararaton dan pengiriman arca disebutkan dalam prasasti pada alas arca Amoghapāśa yang ditemukan di daerah Padangroco dan Rambahan, Sumatra Barat.
3.         Arca Pradnya Paramita
Tokoh arca wanita ini dianggap sebagai Dewi Kebijaksanaan dalam Agama Buddha Tantrayana. Tangannya digambarkan dalam sikap dharmmacakramudra yang berarti ‘sedang memutar roda dharma’. Arca dewi duduk di atas lapik yang tertutup dengan kain panjangnya. Sikap kakinya padmasana yaitu kaki disilangkan sehingga telapak kaki kiri dan kanan terletak di atas kedua paha. Gaya seni arca mirip dengan arca Prajnaparamitha dari Candi Singhasari di Jawa Timur yang dianggap sebagai arca terindah sehingga arca ini kemungkinan berasal dari periode yang sama yaitu sekitar abad-13 Masehi. Arca Prajnaparamita ditemukan pada saat pemugaran Candi Gumpung yang dilaksanakan oleh Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Sejarah dan Purbakala pada tahun 1978. Arca tersebut dibuat dari bahan batu andesit.
4.         Candi Jabung (Braja Jina Paramita Pura)
Candi Jabung adalah salah satu candi hindu peninggalan kerajaan Majapahit. Candi hindu ini terletak di Desa Jabung, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur. Struktur bangunan candi yang hanya dari bata merah ini mampu bertahan ratusan tahun. Menurut keagamaan, Agama Budha dalam kitab Nagarakertagama Candi Jabung di sebutkan dengan nama Bajrajinaparamitapura. Dalam kitab Nagarakertagama candi Jabung dikunjungi oleh Raja Hayam Wuruk pada lawatannya keliling Jawa Timur pada tahun 1359 Masehi. Pada kitab Pararaton disebut Sajabung yaitu tempat pemakaman Bhre Gundal salah seorang keluarga raja.
5.         Candi Surawana
Candi Surawana terletak di Desa Canggu, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, sekitar 25 km arah timur laut dari Kota Kediri. Candi yang nama sesungguhnya adalah Wishnubhawanapura ini diperkirakan dibangun pada abad 14 untuk memuliakan Bhre Wengker, seorang raja dari Kerajaan Wengker yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Raja Wengker ini mangkat pada tahun 1388 M. Dalam Negarakertagama diceritakan bahwa pada tahun 1361 Raja Hayam Wuruk dari Majapahit pernah berkunjung bahkan menginap di Candi Surawana.
6.         Candi Penataran
Dalam kitab Negarakertagama, Candi Penataran disebut dengan nama Candi Palah. Diceritakan bahwa Raja Hayam Wuruk (1350 - 1389 M) dari Majapahit sering mengunjungi Palah untuk memuja Hyang Acalapati, atau yang dikenal sebagai Girindra (berarti raja gunung) dalam kepercayaan Syiwa. Oleh karena itu, jelas bahwa Candi Palah sengaja dibangun di kawasan dengan latar belakang Gunung Kelud, karena memang dimaksudkan sebagai tempat untuk memuja gunung. Pemujaan terhadap Gunung Kelud bertujuan untuk menangkal bahaya dan menghindarkan diri dari petaka yang dapat ditimbulkan oleh gunung tersebut.
Berdasarkan tulisan pada sebuah batu yang terletak sisi selatan bangunan utamanya, diduga bahwa Candi Palah dibangun pada awal abad 12 M, atas perintah Raja Srengga dari Kediri. Walaupun demikian, Candi Panataran terus mengalami pengembangan dan perbaikan sampai dengan, bahkan sesudah, masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Dugaan ini didasarkan pada berbagai angka tahun yang tertulis pada berbagai tempat di candi ini yang berkisar antara tahun 1197 sampai tahun 1454 M.
7.         Candi Jawi
Dalam Negarakertagama pupuh 56 disebutkan bahwa Candi Jawi didirikan atas perintah raja terakhir Kerajaan Singasari, Kertanegara, untuk tempat beribadah bagi umat beragama Syiwa-Buddha. Raja Kartanegara adalah seorang penganut ajaran Syiwa Buddha. Selain sebagai tempat ibadah, Candi Jawi juga merupakan tempat penyimpanan abu jenazah Kertanegara. Hal ini memang agak mengherankan, karena letak Candi Jawi cukup jauh dari pusat Kerajaan Singasari. Diduga hal itu disebabkan karena rakyat di daerah ini sangat setia kepada raja dan banyak yang menganut ajaran Syiwa-Buddha. Dugaan tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa saat Raden Wijaya, menantu Raja Kertanegara, melarikan diri setelah Kertanegara dijatuhkan oleh Raja Jayakatwang dari Gelang-gelang (daerah Kediri), ia sempat bersembunyi di daerah ini, sebelum akhirnya mengungsi ke Madura.      
8.         Arca Aksobya
Arca Aksobhya dengan sikap bumisparca-mudra yaitu sikap tangan menyentuh bumi sebagai saksi. Arca menghadap ke timur.
9.         Candi Bajang Ratu
Arkeolog Sri Soeyatmi Satari menduga nama Bajangratu ada hubungannya dengan Raja Jayanegara dari Majapahit, karena kata 'bajang' berarti kerdil. Menurut Kitab Pararaton dan cerita rakyat, Jayanegara dinobatkan tatkala masih berusia bajang atau masih kecil, sehingga gelar Ratu Bajang atau Bajangratu melekat padanya.
Mengenai fungsi candi, diperkirakan bahwa Candi Bajangratu didirikan untuk menghormati Jayanegara. Dasar perkiraan ini adalah adanya relief Sri Tanjung di bagian kaki gapura yang menggambarkan cerita peruwatan. Relief yang memuat cerita peruwatan ditemukan juga, antara lain, di Candi Surawana. Candi Surawana diduga dibangun sehubungan dengan wafatnya Bhre Wengker (akhir abad ke-7).
10.     Arca Harihara
Perwujudan Kertarajasa sebagai Hari-Hara tentunya mempunyai makna tersendiri yang dapat mewakili aspek legitimasi politik pada masa awal kerajaan Majapahit. Kertarajasa Jayawardana adalah raja pertama dan pendiri kerajaan Majapahit, dia memerintah dari tahun 1293-1350 Masehi. Pada masa Kertarajasa Jayawardhana memerintah terjadi ketidakseimbangan politik karena Majapahit merupakan kerajaan baru yang menggantikan kerajaan Singasari yang ditundukkan oleh Jayakatwang. Krtarajasa Jayawarddhana berjasa besar karena telah mendirikan Majapahit sekaligus menumpas pemberontakan Jayakatwang yang meruntuhkan kerajaan Singhasari dan membunuh raja Kertanegara. Jasa besar lainnya dari Krtarajasa Jayawarddhana adalah taktiknya dalam mengusir ekspansi pasukan Kubilai Khan yang memiliki ambisi untuk menaklukkan Jawa.
11.     Candi Simping
Candi Simping atau Candi Sumberjati adalah sebuah candi yang terletak di Sumberjati, Blitar, Indonesia. Candi ini merupakan makam Raden Wijaya yang wafat tahun 1309.
Penegasan tentang keberadaan candiini tertulis dalam Kitab Negarakertagama Pupuh XLVII bagian yang ketiga, yang berbunyi:
... tahun Saka surya mengitari bulan (1231 Saka atau 1309 M), Sang Prabu (Wijaya) mangkat, ditanam di dalam pura Antahpura, begitu nama makam dia, dan di makam Simping ditegakkan arca Siwa.
Saat ini, candi ini hanya berupa lantai pondasinya saja, sementara bangunan utuhnya telah runtuh. Candi ini dibangun dengan bahan dasar batu andesit, berbeda dengan candi-candi yang ditemukan di wilayah Trowulan, Mojokerto.
12.     Candi Singhasari
Kapan tepatnya Candi Singasari didirikan masih belum diketahui, namun para ahli purbakala memperkirakan candi ini dibangun sekitar tahun 1300 M, sebagai persembahan untuk menghormati Raja Kertanegara dari Singasari. Setidaknya ada dua candi di Jawa Timur yang dibangun untuk menghormati Raja Kertanegara, yaitu Candi Jawi dan Candi Singasari. Sebagaimana halnya Candi Jawi, Candi Singasari juga merupakan candi Syiwa. Hal ini terlihat dari adanya beberapa arca Syiwa di halaman candi.
13.     Arca Ardha Nareswari
Kematian raja kartanegara disimbolkan dengan arca Ardha Nareswari
14.     Arca Hyang Werocana Locana
Hyang Wairocana dan Locana sebagai Lambang arca tunggal dari raja Kertanegara
15.     Candi Kidal
Candi Kidal dibangun pada 1248 M, setelah upacara pemakaman 'Cradha' untuk Raja Anusapati dari Kerajaan Singasari. Tujuan pembangunan candi ini adalah untuk mendarmakan Raja Anusapati, agar sang raja dapat mendapat kemuliaan sebagai Syiwa Mahadewa. Dibangun pada masa transisi dari zaman keemasan pemerintahan kerajaan-kerajaan Jawa Tengah ke kerajaan-kerajaan Jawa Timur, pada Candi Kidal dapat ditemui perpaduan corak candi Jawa Tengah dan candi Jawa Timur. Sebagian pakar bahkan menyebut Candi Kidal sebagai prototipe candi Jawa Timuran.
16.     Candi Brahu
Ada pendapat yang mengatakan bahwa Candi Brahu lebih tua dibandingkan candi lain yang ada di sekitar Trowulan. Nama Brahu dihubungkan diperkirakan berasal dari kata 'Wanaru' atau 'Warahu', yaitu nama sebuah bangunan suci yang disebutkan di dalam prasasti tembaga 'Alasantan' yang ditemukan kira-kira 45 meter disebelah barat Candi Brahu. Prasasti ini dibuat pada tahun 861 Saka atau, tepatnya, 9 September 939 M atas perintah Raja Mpu Sindok dari Kahuripan. Menurut masyarakat di sekitarnya, candi ini dahulu berfungsi sebagai tempat pembakaran jenasah raja-raja Brawijaya. Akan tetapi, hasil penelitian yang dilakukan terhadap candi tersebut tidak menunjukkan adanya bekas-bekas abu atau mayat, karena bilik candi sekarang sudah kosong.
17.     Candi Tegawangi
Candi Tegawangi terletak di Desa Tegowangi, Kecamatan Plemahan, Kabupaten Kediri, sekitar 24 Km dari kota Kediri. Letaknya agak tersembunyi di kawasan perumahan penduduk, sekitar 1 km dari jalan raya, namun lingkungan di sekitar candi sudah tertata apik. Candi Hindu ini diperkirakan dibangun pada akhir abad ke-14 atas perintah Raja Hayam Wuruk. Tujuan pembangunannya adalah untuk meruwat (menghilangkan keburukan) Bhre Matahun, sepupu Raja Hayam Wuruk. Nama Tegawangi tercantum dalam Kitab Pararaton, yang meyebutkan bahwa Bre Matahun yang meninggal pada tahun 1310 Saka (1388 M) didarmakan di Tigawangi.
18.     Candi Rimbi
Candi Rimbi merupakan candi Syiwa, terlihat dari relief yang berisi ajaran Tantri yang terpahat di kaki candi. Diduga candi ini dibangun pada pertengahan abad ke-14, sebagai penghormatan kepada Tribhuwana Tunggadewi Jayawisnuwardhani yang memerintah Majapahit pada tahun 1329-1350. Dugaan ini didasarkan pada ditemukannya dua buah arca Dewi Parwati, yang diperkirakan merupakan pencerminan Dewi Tribhuwana. Kedua arca tersebut saat ini tersimpan di Museum Trowulan dan Museum Nasional.
D.      Epigrafi
1.      Prasasti Kusmala 1272 Saka (1350 M)
Berisi tentang peringatan keberhasilan Raja Rakryan Demung Sang Martabun Rangga Sapu. Angka tahun dari prasasti adalah 272 saka (350 M)
2.      Prasasti Mula Malurung 1177 Saka (1255 M)
Prasasti Mula Malurung adalah piagam pengesahan penganugrahan desa Mula dan desa Malurung untuk tokoh bernama Pranaraja. Prasasti ini berupa lempengan-lempengan tembaga yang diterbitkan Kertanagara pada tahun 1255 sebagai raja muda di Kadiri, atas perintah ayahnya Wisnuwardhana raja Singhasari.
Kumpulan lempengan Prasasti Mula Malurung ditemukan pada dua waktu yang berbeda. Sebanyak sepuluh lempeng ditemukan pada tahun 1975 di dekat kota Kediri, Jawa Timur. Sedangkan pada bulan Mei 2001, kembali ditemukan tiga lempeng di lapak penjual barang loak, tak jauh dari lokasi penemuan sebelumnya.
3.      Prasasti Sarwwadharma 1269 M
Prasasti Sarwadharma adalah prasasti yang dikeluarkan pada saat pemerintahan Kertanegara di Singhasari pada tahun 1269. Prasasti ini berisi mengenai rakyat Sarwadharma yang menghadap raja untuk memohon agar daerah mereka dilepaskan dari wilayah Tharibala sehingga menjadi daerah Sima (swatantra).
4.      Prasasti Kudadu (1294 M)
Mengenai pengalaman Raden Wijaya sebelum menjadi Raja Majapahit yang telah ditolong oleh Rama Kudadu dari kejaran balatentara Yayakatwang setelah Raden Wijaya menjadi raja dan bergelar Krtajaya Jayawardhana Anantawikramottunggadewa, penduduk desa Kudadu dan Kepala desanya (Rama) diberi hadiah tanah sima.
5.      Prasasti Sukamerta (1296 M) dan Prasasti Balawi (1305 M)
Mengenai Raden Wijaya yang telah memperisteri keempat putri Kertanegara yaitu Sri Paduka Parameswari Dyah Sri Tribhuwaneswari, Sri Paduka Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita, Sri Paduka Jayendradewi Dyah Dewi Prajnaparamita, dan Sri Paduka Rajapadni Dyah Dewi Gayatri, serta menyebutkan anaknya dari permaisuri bernama Sri Jayanegara yang dijadikan raja muda di Daha.
6.      Prasasti Waringin Pitu (1447 M)
Mengungkapkan bentuk pemerintahan dan sistem birokrasi Kerajaan Majapahit yang terdiri dari 14 kerajaan bawahan yang dipimpin oleh seseorang yang bergelar Bhre, yaitu Bhre Daha,  Bhre Kahuripan,  Bhre Pajang, Bhre Wengker, Bhre Wirabumi, Bhre Matahun,  Bhre Tumapel,  Bhre Jagaraga,  Bhre Tanjungpura, Bhre Kembang Jenar, Bhre Kabalan, Bhre Singhapura, Bhre Keling, dan Bhre Kelinggapura.
7.      Prasasti Canggu (1358 M)
Mengenai pengaturan tempat-tempat penyeberangan di Bengawan Solo.
Prasasti Biluluk (1366 M0, Biluluk II (1393 M), Biluluk III (1395 M).
Menyebutkan tentang pengaturan sumber air asin untuk keperluan pembuatan garam dan ketentuan pajaknya.
8.      Prasasti Karang Bogem (1387 M)
Menyebutkan tentang pembukaan daerah perikanan di Karang Bogem.
Prasasti Marahi Manuk (tt) dan Prasasti Parung (tt). Mengenai sengketa tanah, persengketaan ini diputuskan oleh pejabat kehakiman yang menguasai kitab-kitab hukum adat setempat.
9.      Prasasti Katiden I (1392 M)
Menyebutkan tentang pembebasan daerah bagi penduduk desa Katiden yang meliputi 11 wilayah desa. Pembebasan pajak ini karena mereka mempunyai tugas berat, yaitu menjaga dan memelihara hutan alang-alang di daerah Gunung Lejar.
10.  Prasasti Alasantan (939 M)
Menyebutkan bahwa pada tanggal 6 September 939 M, Sri Maharaja Rakai Halu Dyah Sindok Sri Isanawikrama memerintahkan agar tanah di Alasantan dijadikan sima milik Rakryan Kabayan.
11.  Prasasti Kamban (941 M)
Meyebutkan bahwa apada tanggal 19 Maret 941 M, Sri Maharaja Rake Hino Sri Isanawikrama Dyah Matanggadewa meresmikan desa Kamban menjadi daerah perdikan.
12.  Prasasti Hara-hara (Trowulan VI) (966 M).
Menyebutkan bahwa pada tanggal 12 Agustus 966 M, mpu Mano menyerahkan tanah yang menjadi haknya secara turun temurun kepada Mpungku Susuk Pager dan Mpungku Nairanjana untuk dipergunakan membiayai sebuah rumah doa (Kuti).
13.  Prasasti Wurare (1289 M)
Menyebutkan bahwa pada tanggal 21 September 1289 Sri Jnamasiwabajra, raja yang berhasil mempersatukan Janggala dan Panjalu, menahbiskan arca Mahaksobhya di Wurare. Gelar raja itu ialah Krtanagara setelah ditahbiskan sebagai Jina (dhyani Buddha).
14.  Prasasti Maribong (Trowulan II) (1264 M)
Menyebutkan bahwa pada tanggal 28 Agustus 1264 M Wisnuwardhana memberi tanda pemberian hak perdikan bagi desa Maribong.
15.  Prasasti Canggu (Trowulan I)
Mengenai aturan dan ketentuan kedudukan hukum desa-desa di tepi sungai Brantas dan Solo yang menjadi tempat penyeberangan. Desa-desa itu diberi kedudukan perdikan dan bebas dari kewajiban membayar pajak, tetapi diwajibkan memberi semacam sumbangan untuk kepentingan upacara keagamaan dan diatur oleh Panji Margabhaya Ki Ajaran Rata, penguasa tempat penyeberangan di Canggu, dan Panji Angrak saji Ki Ajaran Ragi, penguasa tempat penyeberangan di Terung.
16.  Prasasti Singhasari
Prasasti Singosari, yang bertarikh tahun 1351 M, ditemukan di Singosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur dan sekarang disimpan di Museum Gajah dan ditulis dengan Aksara Jawa.
Prasasti ini ditulis untuk mengenang pembangunan sebuah caitya atau candi pemakaman yang dilaksanakan oleh Mahapatih Gajah Mada. Paruh pertama prasasti ini merupakan pentarikhan tanggal yang sangat terperinci, termasuk pemaparan letak benda-benda angkasa. Paruh kedua mengemukakan maksud prasasti ini, yaitu sebagai pariwara pembangunan sebuah caitya.
17.  Prasasti Wurare
Prasasti Wurare adalah sebuah prasasti yang isinya memperingati penobatan arca Mahaksobhya di sebuah tempat bernama Wurare (sehingga prasastinya disebut Prasasti Wurare). Prasasti ditulis dalam bahasa Sansekerta, dan bertarikh 1211 Saka atau 21 November 1289. Arca tersebut sebagai penghormatan dan perlambang bagi Raja Kertanegara dari kerajaan Singhasari, yang dianggap oleh keturunannya telah mencapai derajat Jina (Buddha Agung). Sedangkan tulisan prasastinya ditulis melingkar pada bagian bawahnya.
E.       Berita Cina
Berita Cina yang ditulis Ma-huan saat mengunjungi Majapahit melaporkan adanya sebuah tempat bernama Majapahit, tempat tinggal raja yang dikelilingi tembok bata setinggi lebih dari 30 kaki dan luasnya sekitar 3-4 li.
Pernyataan itu setidaknya mengandung keotentikan, sebagaimana diperlihatkan sejumlah bukti arkeologis di Trowulan. Sisa-sisa bangunan yang ada seluruhnya menggunakan bahan bata merah dan umumnya ditemukan berbentuk bangunan bertembok tebal dan tinggi.

5 komentar:

Cemilan Malam mengatakan...

Bagus, dapat membantu pelajaran sejarah di sekolah. Terima kasih banyak

Unknown mengatakan...

mantav! membantu saia mengerjakan tugas sampeyan bu....

Unknown mengatakan...

Mantav!!!!!!!!!!!!

Unknown mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Unknown mengatakan...

mantap sekali bu donna, izin buat tugas sekolah saya bu

Posting Komentar

Entri Populer

 

My colorful world (Al - Donna Zahra Khairani) Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review