Sabtu, 28 September 2013

Permasalahan Pendidikan di Indonesia

Diposting oleh Pernak Pernik Sejarah di 10.09 0 komentar
Pendidikan Indonesia semakin hari kualitasnya makin rendah. Berdasarkan Survey United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), terhadap kualitas pendidikan di Negara-negara berkembang di Asia Pacific, Indonesia menempati peringkat 10 dari 14 negara. Sedangkan untuk kualitas para guru, kulitasnya berada pada level 14 dari 14 negara berkembang.
Salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya para guru dalam menggali potensi anak. Para pendidik seringkali memaksakan kehendaknya tanpa pernah memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat yang dimiliki siswanya. Kelemahan para pendidik kita, mereka tidak pernah menggali masalah dan potensi para siswa. Pendidikan seharusnya memperhatikan kebutuhan anak bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat anak kurang nyaman dalam menuntut ilmu. Proses pendidikan yang baik adalah dengan memberikan kesempatan pada anak untuk kreatif. Itu harus dilakukan sebab pada dasarnya gaya berfikir anak tidak bisa diarahkan.
Selain kurang kreatifnya para pendidik dalam membimbing siswa, kurikulum yang sentralistik membuat potret pendidikan semakin buram. Kurikulum hanya didasarkan pada pengetahuan pemerintah tanpa memperhatikan kebutuhan masyarakat. Lebih parah lagi,pendidikan tidak mampu menghasilkan lulusan yang kreatif. Ini salahnya, kurikulum dibuat di Jakarta dan tidak memperhatikan kondisi di masyarakat bawah. Jadi, para lulusan hanya pintar cari kerja dan tidak pernah bisa menciptakan lapangan kerja sendiri, padahal lapangan pekerjaan yang tersedia terbatas. Kualitas pendidikan Indonesia sangat memprihatinkan. Berdasarkan analisa dari badanpendidikan dunia (UNESCO), kualitas para guru Indonesia menempati peringkat terakhir dari 14 negara berkembang di Asia Pacifik. Posisi tersebut menempatkan negeri agraris ini dibawah Vietnam yang negaranya baru merdeka beberapa tahun lalu. Sedangkan untuk kemampuan membaca, Indonesia berada pada peringkat 39 dari 42 negara berkembang di dunia. Lemahnya input quality, kualitas guru kita ada diperingkat 14 dari 14 negara berkembang. Ini juga kesalahan negara yang tidak serius untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Banyak faktor-faktor yang menyebabkan kualitas pendidikan di Indonesia semakin terpuruk. Faktor-faktor tersebut yaitu :
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
2. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Kendati secara kuantitas jumlah guru di Indonesia cukup memadai, namun secara kualitas mutu guru di negara ini, pada umumnya masih rendah. Secara umum, para guru di Indonesia kurang bisa memerankan fungsinya dengan optimal, karena pemerintah masih kurang memperhatikan mereka, khususnya dalam upaya meningkatkan profesionalismenya. Secara kuantitatif, sebenarnya jumlah guru di Indonesia relatif tidak terlalu buruk. Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Dengan pendapatan yang rendah, terang saja banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya. Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) masih lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas. Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikanswasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen.
4. Rendahnya Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan. Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari 44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya. Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal dan mengerjakan soal pilihan ganda.
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data Balitbang Departemen PendidikanNasional dan Direktorat Jenderal Binbaga Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
6. Rendahnya Relevansi Pendidikan dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%, dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3 juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
7. Mahalnya Biaya Pendidikan

Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.

Selasa, 24 September 2013

PERKEMBANGAN PENULISAN SEJARAH INDONESIA

Diposting oleh Pernak Pernik Sejarah di 09.10 0 komentar
Penulisan sejarah (historiografi) di Indonesia umumnya digolongkan kedalam tiga tahapan perkembangan yaitu historiografi tradisional, historiografi kolonial, dan historiografi modern Indonesia. Dan setiap historiografi tersebut masing-masing memililiki ciri-ciri yang berbeda dan jenis yang dihasilkanpun berbeda.
Historiografi Tradisional
Historiografi tradisional adalah tradisi penulisan sejarah yang berlaku pada masa setelah masyarakat Indonesia mengenal tulisan, baik pada Zaman Hindu-Budha maupun pada Zaman Islam. Ada pada abad 4 M sampai abad 17 M. Hasil tulisan sejarah dari masa ini sering disebut sebagai naskah. Contoh Historiografi tradisional:
Babad Tanah Jawi, Babad Kraton, Babad Diponegoro, Hikayat Hang Tuah, Hikayat Raja-raja Pasai, Hikayat Silsilah Raja Perak, Hikayat Tanah Hitu, Kronik Banjarmasin, dsb.
Adapun ciri-ciri historiografi tradisional yaitu:
  1. Penulisannya bersifat istana sentris yaitu berpusat pada keinginan dan kepentingan raja. Berisi masalah-masalah pemerintahan dari raja-raja yang berkuasa. Menyangkut raja dan kehidupan istana.
  2. Memiliki subjektifitas yang tinggi sebab penulis hanya mencatat peristiwa penting di kerajaan dan permintaan sang raja.
  3. Bersifat melegitimasi (melegalkan/mensahkan) suatu kekuasaan sehingga seringkali anakronitis (tidak cocok)
  4. Kebanyakan karya-karya tersebut kuat dalam genealogi (silsilah) tetapi lemah dalam hal kronologi dan detil-detil biografis.
  5. Pada umumnya tidak disusun secara ilmiah tetapi sering kali data-datanya bercampur dengan unsur mitos dan realitas (penuh dengan unsur mitos).
  6. Sumber-sumber datanya sulit untuk ditelusuri kembali bahkan terkadang mustahil untuk dibuktikan.
  7. Dipengaruhi oleh faktor budaya masyarakat dimana naskah tersebut ditulis sehingga merupakan hasil kebudayaan suatu masyarakat.
  8. Cenderung menampilkan unsur politik semata untuk menujukkan kejayaan dan kekuasaan sang raja.

Banyak sejarawan yang awalnya sampai tahun 1960-an tidak mau menggunakan naskah-naskah tersebut sebagai sumber atau referensi karya ilmiah. Akan tetapi, pada perkembangannya karena melalui berbagai penelitian membuktikan bahwa bayak hal yang ditulis dalam naskah tradisional tersebut dapat terungkap pula dalam sumber-sumber sejarah yang lain maka mereka mulai menganggap bahwa naskah/ historiografi tradisional tersebut dapat pula dijadikan sumber atau acuan sejarah.
Historiografi Kolonial
Ada pada abad 17-abad 20 M. Historiografi kolonial merupakan historiografi warisan kolonial dan penulisannya digunakan untuk kepentingan penjajah.
Ciri-cirinya:
1. Tujuannya untuk memperkuat kekuasaan mereka di Indonesia. Jadi disusun untuk membenarkan penguasaan bangsa mereka terhadap bangsa pribumi (Indonesia). Sehingga untuk kepentingan tersebut mereka melupakan pertimbangan ilmiah.
2.      Selain itu semuanya didominasi untuk tindakan dan politik kolonial.
3.      Historiografi kolonial hanya mengungkapkan mengenai orang-orang Belanda dan peristiwa di negeri Belanda serta mengagung-agungkan peran orang Belanda sedangkan orang-orang Indonesia hanya dijadikan sebagai objek.
4.  Historiografi kolonial memandang peristiwa menggunakan sudut pandang kolonial. Sifat historiografi kolonial eropasentris.
5.      Ditujukan untuk melemahkan semanangat para pejuang atau rakyat Indonesia.
Seperti contohya: Orang Belanda menyebut ”pemberontakan” bagi setiap perlawanan yang dilakukan oleh daerah untuk melawan kekuasaan Belanda/ kekuasaan asing yang menduduki tanah airnya. Oleh Belanda itu dianggap sebagai ”perlawanan terhadap kekuasaannya yang sah sebagai pemilik Indonesia”. Seperti Perlawanan yang dilakukan oleh Diponegoro, Belanda menganggap itu sebagai ”Pemberontakan Diponegoro”.
Telah ada upaya untuk melakukan kritik terhadap beberapa tulisan orang Belanda seperti tulisan Geschiedenis van Nederlandsche-Indie (Sejarah Hindia Belanda) oleh Stapel yang dikritik J.C van Leur. Salah satu ungkapannya”jangan melihat kehidupan masyarakat hanya dari atas geladak kapal saja”, artinya jangan menuliskan masyarakat Hindia hanya dari sudut penguasa saja dengan mengabaikan sumber-sumber pribumi sehingga peranan pribumi tidak nampak sementara yang ada hanyalah aktivitas bangsa Belanda di Hindia.
Tetapi justru pendapat Stapel yang tenar di kalangan masyarakat Indonesia, salah satu pendapatnya yang masih dipercaya dan melekat dalam benak sebagian besar masyarakat Indonesia adalah bahwa bangsa Indonesia telah dijajah Belanda selama 350 tahun (1595-1545). Hal ini berarti bahwa bangsa Indonesia dijajah sejak tahun 1595 sewaktu Cornelis de Houtman berangkat dari negeri Belanda untuk mencari pulau penghasil rempah-rempah di dunia Timur. Dia sampai di Indonesia tahun 1596. Indonesia masih mengalami kekuasaan VOC (1602-1619), Inggris (1811-1816), Van den Bosh (1816-1830), Penghapusan Tanam Paksa(1830-1870), Liberalisme (1870-1900), Politik Etis (1900-1922), Sistem Administrasi Belanda (1922-1942), Jepang (1942-1945).
Historiografi Modern Indonesia/ historiografi nasional
Ada pada abad 20 M- sekarang. Setelah kemerdekaan bangsa Indonesia maka masalah sejarah nasional mendapat perhatian yang relatif besar terutama untuk kepentingan pembelajaran di sekolah sekaligus untuk sarana pewarisan nilai-nilai perjuangan serta jati diri bangsa Indonesia. Ditandai dengan:
1.   Mulai muncul gerakan Indonesianisasi dalam berbagai bidang sehingga istilah-istilah asing khususnya istilah Belanda mulai diindonesiakan selain itu buku-buku berbahasa Belanda sebagian mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
2.    Mulai Penulisan sejarah Indonesia yang berdasarkan pada kepentingan dan kebutuhan bangsa dan negara Indonesia dengan sudut pandang nasional.
3.      Orang-orang dan bangsa Indonesialah yang menjadi subjek/pembuat sejarah, mereka tidak lagi hanya sebagai objek seperti pada historiografi kolonial.
4.      Penulisan buku sejarah Indonesia yang baru awalnya hanya sekedar menukar posisi antara tokoh Belanda dan tokoh Indonesia.
5.   Jika awalnya tokoh Belanda sebagai pahlawan sementara orang pribumi sebagai penjahat, maka dengan adanya Indonesianisasi maka kedudukannya terbalik dimana orang Indonesia sebagai pahlawan dan orang Belanda sebagai penjahat tetapi alur ceritanya tetap sama.
Keadaaan yang demikian membuat para sejarawan dan pengamat sejarah terdorong untuk mengadakan ”Kongres Sejarah Nasional” yang pertama yaitu pada tahun 1957. Pada kongres kedua namanya diubah menjadi ”Seminar Nasional Sejarah”, membicarakan mengenai rencana untuk pembuatan sebuah buku sejarah nasional baru dengan harapan dapat dijadikan semacam buku referensi.
Oleh karena itu penulisan sejarah yang seharusnya adalah:
Sebuah penulisan yang tidak sekedar mengubah pendekatan dari eropasentris menjadi indonesiasentris, tetapi juga menampilkan hal-hal baru yang sebelumnya belum sempat terungkap.
2.      Penulisan sejarah dengan cara yang konvensional (yang hanya mengandalkan naskah sebagai sumber sejarah) yang bersifat naratif, deskriptif, kedaerahan, serta tema-tema politik dan penguasa diganti dengan cara penulisan sejarah yang kritis (struktural analitis)
3.      Menggunakan pendekatan multidimensional. Caranya yaitu dengan menggunakan teori-teori ilmu sosial untuk menjelaskan kejadiaan sejarah sesuai dengan dimensinya dengan menggunakan sumber-sumber yang lebih beragam daripada masa sebelumnya.
4.      Mengungkapkan dinamika masyarakat Indonesia dari berbagai aspek kehidupan yang kemudian dapat dijadikan bahan kajian untuk memperkaya penulisan sejarah Indonesia.
Sebagai contoh: Tulisan berjudul ”Pemberontakan Petani di Banten 1888” oleh Sartono Kartodirdjo, seorang sejarawan Indonesia pertama yang menggunakan metode multidimensional dalam penulisannya.
Penulisan sejarah Indonesia modern bertujuan untuk melakukan perbaikan dengan menggantiklan beberapa hal seperti:
1.      Adanya pandangan religio-magis serta kosmologis seperti tercermin dalam babad atau hikayat diganti dengan pandangan empiris-ilmiah.
2.      Adanya pandangan etnosentrisme diganti dengan pandangan nationsentris.

3.      Adanya pandangan sejarah kolonial-elitis diganti dengan sejarah bangsa Indonesia secara keseluruhan yang mencakup berbagai lapisan sosial.  

Proses Berakhirnya Pemerintah Orde Baru dan Terjadinya Reformasi

Diposting oleh Pernak Pernik Sejarah di 08.10 2 komentar
1.       Faktor Faktor Penyebab Runtuhnya Orde Baru
Runtunya rezim Orde Baru disebabkan oleh beberapa faktor baik yang datang dari eksternal maupun internal negeri. Faktor ekternal yaitu pengaruh krisis moneter Asia yang melanda Thailand, sedangkan faktor internal yaitu stagnansi perekonomian Indonesia serta kolusi, korupsi, dan nepotisme yang menggerogoti pemerintahan. Berikut dibawah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai faktor-faktor penyebab runtuhnya orde baru.
A.       Krisis Moneter, Awal Keterpurukan Perekonomian
Krisis moneter yang melanda Thailand pada awal Juli 1997 merupakan permulaan peristiwa yang mengguncang nilai tukar mata uang negara-negara di Asia seperti Malaysia, Filipina, dan juga Indonesia. Rupiah yang berada pada posisi nilai tukar 2.500/US $ terus mengalami kemerosotan hingga 9 persen. Bank Indonesia mengakui bahwa ia tidak bisa membendung rupiah yang terus merosot. Pada akhir Oktober, nilai tukar rupiah menjadi Rp 4.000/US $. Dari sini, rupiah semakin terpuruk. Pada bulan Januari 1998, rupiah tenggelam hingga level sekitar Rp 17.000/US $, atau kehilangan 85% nilainya. Bursa saham Jakarta hancur. Hampir semua perusahaan modern di Indonesia bangkrut sehingga menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran, dan tabungan kelas menengah lenyap.
Melemahnya nilai tukar rupiah tersebut menjadi perhatian khusus Presiden Soeharto. Meskipun demikian, masih menyatakan keyakinannya bahwa Indonesia mampu menahan badai  yang bertiup dari Thailand tersebut. Respon pemerintah terhadap krisis mencerminkan kesombongan dan kurangnya kesadaran terhadap realitas. Reformasi diumumkan, namun proyek para kroni dan keluarga – seperti mobil nasional Tommy – terus dilindungi. Presiden Soeharto yang saat itu berpangkat Jenderal Besar Kehormatan (berbintang lima) meminta bantuan sarana penyelamatan International Monetary Fund (IMF) berjumlah US $43 miliar. Perjanjian dengan IMF yang dilakukan pada Oktober 1997 memaksa pemerintah Indonesia harus melakukan pembaruan-pembaruan kebijakan. Di antaranya, penghentian subsidi dan penutupan 16 bank swasta, tetapi dua bank yang dimiliki keluarga Soeharto dibuka  kembali. Namun, usaha tersebut tidak membawa perubahan.
Pada tanggal 6 Januari 1998, Soeharto mengumumkan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) yang tidak jelas karena memasukkan asumsi nilai tukar rupiah yang berlaku enam bulan sebelumnya. Soeharto mendapat telepon dari Bill Clinton di Washington, Helmut Kohl di Bonn, dan Hasimoto Ryutaro di Tokyo, serta mendapatkan kunjungan Goh Chok Tong dari Singapura, yang semuanya mendesak Soeharto untuk menerima proposal reformasi IMF. Pada tanggal 15 Januari 1998 di kediamannya di Jalan Cendana nomor 8/10, Jakarta Pusat, Presiden Soeharto dan Direktur Pelaksana IMF Michelle Camdessus menandatangani Letter of Intent (Nota Kesepakatan). Dalam tindak lanjutnya, presiden melakukan revisi terhadap RAPBN yang telah disampaikan sebelumnya, dan dinyatakan belum final.
Di tengah kondisi yang tidak menentu itu, Presiden Soeharto justru mengeluarkan pernyataan bahwa paket IMF yang ditandatanganinya pada tanggal 15 Januari1998 menjurus pada ekonomi liberal. Hal ini menyiratkan bahwapemerintah Indonesia tidak akan melaksanakan perjanjian IMF yang berisi 50 butir kesepakatan tersebut. Situasi tarik-menarik antara pemerintah dan IMF itu menyebabkan krisis ekonomi di Indonesia semakin memburuk. Sedangkan Thailand dan Korea Selatan yang pada awal keadaannya lebih buruk daripada Indonesia, telah berkembang menuju proses pemulihan.
Pada saat krisis semakin dalam, pada akhir Januari, Soeharto mengatakan bahwa dia akan mencalonkan diri untuk masa kepresidenannya yang ketujuh dan mengisyaratkan bahwa Soeharto menginginkan Habibie sebagai wakil presiden. Rupiah kemudian mencapai kurs yang paling jelek. Tidak hanya gangguan secara ekonomi, gangguan sosial pun merupakan ekses yang tidak terlepaskan. Dalam bulan-bulan pertama tahun 1998 di sejumlah kota terjadi kerusuhan-kerusuhan anti-Cina. Kelompok ini merupakan sasaran kemarahan masyarakat karena dominasi perekonomian Indonesia berada di tangan mereka.
B.       Krisis Politik dan Surutnya Kredibilitas Pemerintah
Soeharto mengangkat orang-orang kepercayaannya ke dalam posisi penting. Mantan ajudannya dan kepala staf Jenderal Wiranto ditunjuk sebagai Panglima ABRI pada bulan Februari 1998. Menantu Soeharto, Letnan Jendral Prabowo Subianto, diserahi jabatan pimpinan Kostrad pada bulan Maret. Dalam menyongsong sidang MPR bulan Maret, sekitar 20 aktivis mahasiswa diculik oleh aparat keamanan dan sembilan diantaranya kemungkinan dibunuh. Prabowo-lah yang umum diyakini sebagai dalang dari kematian para mahasiswa ini.
Setelah pelaksanaan pemilu ke-6 yang diselenggarakan pada tanggal 29 Mei 1997 yang memberikan kemenangan pada Golkar dengan perolehan suara 74,5%, PPP 22,4%, dan PDI 3%, perhatian politik tercurah pada Sidang Umum MPR pada bulan Maret 1998 yang bertugas memilih presiden dan wakil presiden. Dalam sidang tersebut, Golkar mencalonkan kembali Soeharto sebagai nominasi tunggal untuk jabatan presiden. Dalam Sidang Umum MPR pada tanggal 11 Maret 1998 tersebut, Soeharto terpilih secara aklamasi sebagai presiden untuk masa jabatan lima tahun yang ketujuh kalinya dan B. J. Habibie sebagai wakil presiden. Terpilihnya Habibie menghancurkan harapan terakhir komunitas internasional terhadap rezim tersebut. Reputasi Habibie terletak pada sejarah BUMN yang merugi besar-besaran, kedekatan pada Soeharto dan kroni-kroninya, dan memolitikkan islam.
Pada tanggal 14 Maret 1998 Presiden Soeharto membentuk kabinet barunya dengan menyertakan Siti Hardiyanti Rukmana, putrinya sebagai Menteri Kesejahteraan Sosial, dan orang dekatnya, Bob Hasan, sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian yang nantinya terbukti tidak memiliki kemampuan untuk menduduki posisi itu. Hanya sedikit tokoh Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang masuk kabinet. ICMI kini berpindah ke kubu oposisi, yaitu reformasi.
Dalam beberapa minggu setelah terpilihnya Soeharto sebagai Presiden RI, kekuatan-kekuatan oposisi yang sejak lama dibatasi mulai muncul kepermukaan meingkatnya kecaman terhadap Presiden Soeharto tumbuh subur yang ditandai lahirnya gerakan mahasiswa sejak awal 1998. Gerakan mahasiswa yang mulai mengkristal di kampus-kampus, seperti ITB, UI, dan lain-lain semangkit meningkat intesitasnya sejak terpilihnya Soeharto kembali.
Demonstrasi-demonstrasi mahasiswa berskala besar di seluruh Indonesia melibatkan pula para staf akademisi maupun pimpinan universitas. Adapun garis besar tema yang dituntut mahasiswa dalam aksi-aksinya di kampus di berbagai kota, yaitu penurunan harga sembako (sembilan bahan pokok), penghapusan monopoli, kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN), serta suksesi kepemimpinan nasional.
Pada penutupan Sidang Umum MPR menjadi suatu kesempatan bagi sejumlah massa untuk melakukan demonstrasi. Pada tanggal 11 Maret 1998 ribuan orang dan bergabung pula Amien Rais serta berbagai staff akedimisi dari berbagai kampus melakukan demonstrasi untuk mendukung gerakan mahasiswa. Bahkan demontrasi yang dilakukanoleh mahasiswa-mahasiswa Universitas Gajah Mada di Yogjakarta merupakan demonstrasi terbesar yang terjadi selama beberapa dekade ini. Patung Soeharto setinggi 3 meter pun dirusak oleh mahasiswa.
Aksi-aksi mahasiswa yang tidak mendapatkan tanggapan dari pemerintah menyebabkan para mahasiswa di berbagai kota lainnya mulai mengadakan aksi hingga keluar kampus. Menjelang bulan April 1998, Amien Rais yang menempatkan dirinya sebagai pemimpin informal gerakan secara terbuka menyerukan dukungan rakyat bagi perjuangan mahasiswa. Selama itu pada permulan bulan Mei 1998 sejumlah organisasi seperti LSM, dan International Forum on Indonesian Development (INFID), bergabung bersama staf senat dari berbagai universitas melakukan protes turun ke jalan untuk menuntut turunnya Presiden Soeharto.
Maraknya aksi-aksi mahasiswa tidak jarang berlanjut menjadi bentrokan dengan para aparat keamanan. Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto mencoba meredamnya dengan menawarkan dialog kepada mahasiswa. Menurut Menhankam/ Pangab,  dialog sangat dibutuhkan dalam menghadapi situasi permasalahan bangsa yang sangat sulit. Dari dialog tersebut, ia berharap komunikasi antara pemerintah masyarakat terbuka kembali. Sebaliknya, para mahasiswa menganggap bahwa dialog dengan pemerintah dianggap tidak efektif karena pokok tuntutan aksi-aksi mereka adalah reformasi politik dan ekonomi, serta pengunduran diri Presiden Soeharto. Menurut mereka, mitra dialog yang paling efektif adalah lembaga pemerintah kepresidenan dan MPR.
Di tengah maraknya aksi-aksi protes mahasiswa dan komponen masyarakat lainnya, pada tanggal 4 Mei 1998 pemerintah mengeluarkan kebijakan baru, yaitu menaikkan hatga BBM dan tarif dasar listrik. Dalam hal ini pemerintah justru mengambil langkah yang bertentangan dengan tuntutan yang berkembang saat itu. Bahkan kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik semakin memicu gerakan massa karena hal ini berdampak pada naiknya biaya angkutan dan barang kebutuhan lainnya,
Dalam kondidi krisis ekonomi, politik, dan kepercayaan pada pemerintah, pada tanggal 9 Mei 1998 Presiden Soeharto menghadiri Konferensi G-15 di Kairo. Di dalam pesawat menjelang keberangkatannya, Presiden Soeharto meminta masyarakat tenang dan memahami kenaikan harga BBM. Selain itu, ia menyerukan pula kepada lawan-lawan politiknya bahwa pasukan keamanan akan menangani dengan tegas setiap gangguan yang muncul. Meskipun demikian, kerusuhan tetap tidak dapat dipadamkan dan gelombang protes dari berbagai kalangan komponen masyarakat terus mewarnai perkembangan situasi perpolitikan saat itu
2.       Berbagai Kerusuhan dan Kronologis Jatuhnya Kekuasaan Soeharto sebagai Akhir Pemerintahan Orde Baru
Peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang akan diselenggarakan pada tanggal 20 Mei 1998 dirancanakan oleh gerakan mahasiswa sebagai momen Hari Reformasi Nasional. Namun, ledakan kerusuhan terjadi lebih awal dan di luar dugaan. Pada tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti yang berlokasi di daerah Grogol, Jakarta Barat terjadi peristiwa penembakan terhadap empat orang mahasiswa oleh aparat keamanan. Keempat orang mahasiswa Trisakti tersebut adalah Elang Mulya Lesmana,  Hendriawan Sie, Heri Hartanto, dan  Hafidhin Royan. Mereka tertembak ketika ribuan mahasiswa Trisakti lainnya baru memasuki kampusnya setelah menggelar aksi keprihatinan.
Kematian empat mahasiswa Trisakti tersebut memicu berbagai gerakan proreformasi untuk menyatukan langkah dan mendesak Presiden Soeharto mengundurkan diri. Senat mahasiswa UI menyerukan aagar seluruh rakyat Indonesia mulai tanggal 13 Mei 1998 mengenakan pita hitam di tangan kiri, sebagai tanda berkabungnasional serta lambang perjuangan reformasi dan suksesi kepemimpinan nasional. Seruan ini mendapat tanggapan secara luas.
Pada tanggal 13 Mei 1998, setelah acara pemakaman keempat mahasiswa tersebut, ribuan mahasiswa Trisakti aksi berkabung di kampusnya. Massa mulai membanjiri sekitar kampus Universitas Trisakti untuk bergabung dengan mahasiswa. Aparat keamanan berusaha mencegah aksi massa itu, akibatnya massa mengamuk dan mulai melakukan pelemparan serta perusakan.
Keadaan yang hampir sama pun terjadi di Universitas Katolik Atma Jaya di Jalan Jenderal Soedirman, Jakarta, tempat para mahasiswa menggelar keprihatinan dan rasa dukacita bagi mahasiswa Trisakti yang telah menadi mortir-mortir bangsa. Warga sekitar melakukan pembakaran di komplek pertokoan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Peristiwa itu terus berkembang dan menyebar menjadi kerusuhan rasial. Toko-toko warga Indonesia keturunan Cina menjadi sasaran penjarahan massa yang tidak dikenal. Selain itu, rumah-rumah mereka pun dirusak dan dibakar.
Massa yang semula berada di Jalan S. Parman, Jakarta Barat secara cepat bergerak ke arah Jalan Daan Mogot. Mereka melakukan perusakan dan pembakaran mobil-mobil serta gedung-gedung di sepanjang jalan yang dilalui. Selain itu, terjadi pula pemerkosaan terhadap sejumlah besar perempuan-perempuan Indonesia keturunan Cina. Kerusuhan dan perusakan serupa terjadi pula di kota-kota lainnya, terutama di Solo. Suasana Jakarta pun seperti kota mati, tidak ada kendaraan yang lalu lalang. Namun, ditempat-tempat tertentu, khususnya kawasan pertokoan, aksi-aksi penjarahan massa terus berlangsung hingga dini hari.
Wakil Presiden B.J. Habibie di Istana Merdeka Selatan, atas nama Presiden Soeharto menyampaikan keprihatinan pemerintah atas musibah yang terjadi dalam unjuk rasa mahasiswa. Pemerintah menyerukan agar semua pihak menahan diri dalam memelihara ketentraman dan stabilitas. Walaupun demikian, pada tanggal 14 Mei 1998 kerusuhan terus melanda hampir seluruh wilayah Jakarta dan sekitarnya. Bantuan pasukan dari luar kota pun mulai didatangkan untuk mengamankan situasi ibu kota. Sementara itu, sejak tanggal 14 Mei 1998, ribuanetnis Cina melakukan eksodus ke luar negeri, khususnya ke Singapura, Bangkok, Hong Kong, dan Australia. Penyelamatan diri ini pun kemudian diikuti oleh warga asing lainnya, seperti staf kedutaan, pekerja asing (ekspatriat) beserta keluarga dan pejabat-pejabat IMF yang bertugas di Indonesia. Kerusuhan di Jakarta menjadikan beberapa kedutaan besar di Jakarta mulai mengevakuasi sebagian warganya ke Singapura dan Bangkok. Kedutaan besar lainnya menyarankan agar warga negaranya meninggalkan Indonesia. Langkah tersebut juga diikuti oleh beberapa perusahaan multinasional dalam ragka menghindari kerusuhan.
Perkembangan situasi tanah air yang semakin tidak menentu meyebabkan Presiden Soeharto mempersingkat kunjungannya di Kairo, yang dijadwalkan pulang pada tanggal 16 Mei 1998, sehari sebelumnya telah tiba di tanah air. Di kediamannya di Jalan Cendana, Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan para pembantu-pembantunya untuk meminta laporan kondisi terakhir dalam negeri. Keesokan harinya Presideen memutuskan untuk menurunkan harga BBM. Selanjutnya Presiden berjanji akan melakukan reformasi di segala bidang dan segera me-reshuffle Kabinet Pembangunan VII yang dipimpinnya. Hal ini disampaikan oleh Soeharto ketika ia bertemu dengan para pemimpin DPR di Jalan Cendana, Jakarta Pusat.
Langkah-langkah kebijakan ini pun tidak mampu meredam situasi yang tidak teratur saat itu yang menginginkan mundurnya Presiden Soeharto. Pertemuan selanjutnya terjadi antara Presiden Soeharto dan delegasi staf akademisi UI yang  dipimpin oleh Rektor Prof. Asman Boedisantosa yang menyampaikan hasil simposium rektor seluruh indonesia agar Presiden mundur dari jabatannya. Presiden Soeharto menjawab bahwa mundur baginya bukan masalah.
Pada tanggal 17 Mei 1998 gerakan mahasiswa memutuskan untuk menduduki Gedung DPR/MPR. Pada hari berikutnya mahasiswa dari seluruh Jabotabek dan Bandung ikut bergabung di gedung tersebut. Dalam situasi ini aparat keamanan tidak mengahalangi mahasiswa untuk masuk dan menduduki gedung MPR/DPR. Mereka menyerukan slogan-slogan “Reformasi atau Mati” sambil menyanyikan lagu-lagu patriotik.
Keesokan harinya, tanggal 18 Mei 1998 terjadi pertemuan antara pimpinan DPR dan sejumlah delegasi mahasiswa untuk mendiskusikan penyelenggaran secepatnya Sidang Umum Istimewa. Selanjutnya Ketua MPR/DPR Harmoko mengumumkan keputusan secara resmi kepada publik tentang tuntutan pengunduran diri Presiden Soeharto. Pengumuman tersebut disambut gembira terutama oleh para mahasiswa yang menduduki gedung MPR/DPR.
Petang harinya, Presiden Soeharto melakukan pertemuan dengan cendekiawan Islam terkemuka Nurcholis Madjid guna membahas pendapatnya tentang langkah terbaik selanjutnya. Dalam pertemuan itu, Presiden Soeharto ada petunjuk bahwa ia bersedia turun. Hari berikutnya tanggal 19 Mei 1998, Presiden bertemu dengan sembilan orang pimpinan senior muslim dan mengumumkan rencananya untuk membentuk Komisi Pembaruan serta kabinet baru.
Dalam sebuah pidato nasional, Presiden Soeharto secara resmi mengumumkan pembubaran kabinet yang baru berusia dua bulan dan membentuk kabinet baru yang dinamai Kabinet Reformasi. Komisi Pembaruan bertugas menyiapkan undang-undang baru, menyelenggarakan pemilu secepat mungkin, dan dalam hal ini Presiden Soeharto tidak akan mencalonkan diri lagi sebagai Presiden untuk periode berikutnya jika MPR yang baru sudah bersidang.
Di tengah rencana-rencana Presiden itu, Amien Rais mengordinasikan protes-protes mahasiswa dan mengancam akan menghimpun satu juta demonstran di Jakarta pada tanggal 20 Mei 1998 guna menyerukan pengunduran diri Presiden Soeharto. Pidato Presiden tidak memengaruhi pendirian Amien Rais dan yang lainnya karena mereka mencurigai bahwa Presiden membuat taktik baru untuk mengulur waktu saja.
Namun, rencana Amien Rais tidak jadi dilakukan karena adanya ancaman kekerasan terhadap para demonstran. Amien Rais menyampaikan pidato yang disiarkan oleh RCTI untuk membatalkan acara apel akbar di Monas yang akan dihadiri satu juta orang.
Menjelang akhir pemerintahannya, Presiden Soeharto mulai ditinggalkan pembantu-pembantunya di kabinet. Para menterinya, yang dipimpin oleh Ginandjar Kartasasmita, mengadakan rapat dalam kabinet baru serta mendesak Presiden untuk turun. Pernyataan tersebut disampaikan ke Cendana sekitar pukul 20.00, dan hal ini sangat mengguncang Presiden Soeharto.
Pada pertemuan di malam yang sama, Menhankam/Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto atas nasihat sekelompok ahli hukum konstitusi serta ahli politik menyatakan bahwa demi kepentingan bangsa, solusi terbaik adalah mengalihkan kekuasaan secara konstitusional dari Presiden kepada Wakil Presiden. Pandangan itu disampaikannya kepada Presiden pada malam itu.
Menurut Probosutedjo yang mendampingi Presiden Soeharto di saat-saat yang menentukan tersebut, Presiden menyatakan bahwa kariernya sebagai pemimpin bangsa sudah berakhir dan ia harus menyerahkan kekuasaan sesegera mungkin kepada Wakil Presiden B.J. Habibie. Pada saat itu pula dukungan internasional kepada Soeharto untuk bertahan juga sudah sirna. Sebelum tengah malam, Menlu Amerika Serikat Madeleine Allbright menyiarkan pernyataa melalui jaringan televisi CNN agar Soeharto mundur demi kepentingan transisi menuju demokrasi.
Pada pagi hari tanggal 19 Mei 1998 pukul 00.10, Yusril Ihza Mahendra Staf Sekretariat Negara menelepon Amien Rais yang berada di Rumah. Malik Fadjar bersama Nurcholis Madjid dan kawan-kawan memeberitahukan bahwa Soeharto sudah menandatangani naskah pengunduran dirinya. Selanjutnya pada pagi hari hari pukul 00.20, Amien Rais dan kawan-kawan mengadakan jumpa pers di rumah Malik Fadjar di Jalan Indramayu No. 14, Jakarta Pusat. Mereka menyerukan langkah-langkah yang perlu diambil pemerintah seandainya Presiden Soeharto mengundurkan diri. Pada hari Kamis tanggal 21 Mei 1998 sekitar pukul 09.00 WIB, Presiden membacakan pidato pengunduran dirinya sebagai Presiden RI di Istana Merdeka. Soeharto mengumumkan, sesuai Pasal 8 UUD 1945, Wapres B.J. Habibie akan melanjutkan sisa masa jabata Presiden Mandataris MPR 1998-2003. Saat itu Habibie mengucap sumpah, disaksikan oleh Ketua Mahkamah Agung, sebagai Presiden RI yang baru. Selanjutnya Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto mengumumkan bahwa ABRI akan tetap menjaga keselamatan dan kehormatan mantan Presiden Mandataris MPR, termasuk Soeharto dan keluarganya.


Senin, 23 September 2013

SUKU NAVAJO

Diposting oleh Pernak Pernik Sejarah di 07.30 0 komentar


Navajo (juga dieja Navaho, dalam Navajo : Dine, yang berarti "orang-orang," atau Naabeehó) (atau Dineh dalam anglicization umum dari istilah bahasa Navajo) dari Amerika Serikat Barat Daya merupakan terbesar kedua Amerika asli suku Serikat Amerika Serikat . Dalam Sensus AS 2000 , 298.197 orang mengaku sepenuhnya atau sebagian dari keturunan Navajo. The Navajo Nation merupakan sebuah badan pemerintah independen yang mengelola Navajo reservasi Indian di Four Corners area Amerika Serikat . The Navajo Bahasa diucapkan di seluruh wilayah, meskipun yang paling Navajo berbahasa Inggris juga.
·      Awal sejarah
Sampai mereka datang ke dalam kontak dengan Spanyol dan Pueblos , para Navajo adalah pemburu dan pengumpul. Mereka mengadopsi teknik pertanian dan tanaman dari orang-orang Pueblo, tumbuh terutama jagung , kacang , dan squash . Sebagai hasil dari pengaruh Spanyol, mereka mulai menggiring domba dan kambing , tergantung pada mereka untuk makanan dan perdagangan. Mereka berputar dan menenun dicukur wol ke dalam selimut dan pakaian yang dapat digunakan untuk penggunaan pribadi atau perdagangan. Mereka juga tergantung pada kawanan domba mereka untuk daging . Hidup mereka bergantung pada domba begitu banyak itu, ke Navajo, domba adalah jenis mata uang dan ukuran kawanan adalah tanda status sosial.
The Navajo / Dine berbicara dialek dari rumpun bahasa disebut sebagai Athabaskan . The Navajo dan Apache diyakini bermigrasi dari barat laut Kanada dan timur Alaska , dimana mayoritas speaker Athabaskan berada. The Dene Bangsa Pertama , yang tinggal dekat dari Tadoule Danau di Manitoba ke Great Slave Lake di Alberta , juga berbicara bahasa Athabaskan. Meskipun waktu berlalu, orang-orang ini dilaporkan masih bisa memahami bahasa sepupu jauh mereka, Navajo. Arkeologi dan sejarah bukti menunjukkan bahwa nenek moyang Athabaskan dari Navajo dan Apache masuk Southwest dengan 1400 Masehi . Navajo tradisi lisan dikatakan untuk mempertahankan referensi dari migrasi ini.
Sejarah lisan Navajo juga tampaknya menunjukkan hubungan panjang dengan orang-orang Pueblo dan kemauan untuk beradaptasi ide-ide asing ke dalam budaya mereka sendiri. Perdagangan antara masyarakat Pueblo lama mapan dan Athabaskans itu penting bagi kedua kelompok. Catatan Spanyol mengatakan dengan pertengahan abad ke-16, para Pueblos ditukar jagung dan tenunan kapas barang bison daging, kulit dan material untuk alat-alat batu dari Athabaskans yang baik bepergian untuk mereka atau tinggal di sekitar mereka. Pada abad ke-18, Spanyol melaporkan bahwa Navajo memiliki banyak ternak dan daerah besar tanaman. The Navajo mungkin banyak ide Pueblo diadaptasi ke dalam budaya sendiri yang berbeda.
Yang pertama menggunakan istilah Spanyol Apachu de Nabajo pada 1620 untuk merujuk kepada orang-orang di wilayah Lembah Chama timur San Juan Sungai dan barat laut sekarang Santa Fe, New Mexico . Pada 1640-an, mereka menggunakan "Navajo" untuk orang-orang pribumi. Para Spanyol tercatat dalam 1670s bahwa mereka hidup di wilayah yang disebut Dinetah , sekitar enam puluh mil (100 km) barat dari wilayah lembah Rio Chama. Pada 1780, Spanyol mengirim ekspedisi militer terhadap Navajo di barat daya dan barat daerah itu, dalam Taylor Gunung dan Gunung Chuska wilayah New Mexico.
Dalam 1.000 tahun terakhir, Navajo memiliki sejarah memperluas jangkauan mereka dan pemurnian diri mereka identitas dan signifikansi mereka ke kelompok lain. Hal ini mungkin merupakan akibat dari kombinasi budaya peperangan endemik ( penggerebekan ) dan perdagangan dengan Pueblo, Apache, Ute , Comanche Spanyol bangsa dan, atur di lingkungan alam perubahan Southwest tersebut.
Nama "Navajo" berasal dari abad ke-18 melalui Spanyol (Apache de) Navajo "(Apache dari) Navajo", yang berasal dari Tewa navahū "bidang jurang sebelah". The Navajo menyebut diri mereka Dine, yang berarti "rakyat". Meskipun demikian, sebagian besar Navajo sekarang menyetujui untuk disebut "Navajo." (Ejaan lama kata - "Navaho" - tidak disukai oleh Navajo paling di zaman modern).
Secara tradisional, seperti Apacheans lain, Navajo adalah semi- nomadik dari 16 sampai abad ke-20. kelompok kekerabatan diperpanjang mereka telah daerah hunian musiman untuk mengakomodasi peternakan, pertanian dan praktek pengumpulan. Sebagai bagian dari ekonomi tradisional mereka, kelompok Navajo mungkin terbentuk pihak perdagangan atau merampok, perjalanan relatif jarak jauh.
·      Budaya
Secara historis, struktur masyarakat Navajo sebagian besar merupakan matriarkal sistem di mana wanita hanya diizinkan untuk memiliki ternak dan tanah. Setelah menikah, seorang pria Navajo akan pindah ke rumah istrinya dan klan, karena anak-anak perempuan (atau, jika perlu, saudara perempuan lainnya) secara tradisional orang-orang yang menerima warisan generasi. Setiap anak dikatakan milik klan ibu dan menjadi "lahir untuk" marga ayah. Sistem klan adalah exogamous , artinya itu, dan sebagian besar masih, dianggap sebagai bentuk inses untuk menikah atau siapapun tanggal dari salah satu dari empat kakek seseorang sebuah klan.


Minggu, 22 September 2013

Teori Psikologi Pendidikan

Diposting oleh Pernak Pernik Sejarah di 12.01 0 komentar
1.        Lima perbedaan  antara teori Behavior dan teori Gestalt
Teori Behavior
Teori Gestalt
Menitikberatkan pada proses hubungan stimulus-respon-reinforcement sebagai bagian terpenting dalam belajar
Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan tujuan yang ingin dicapai
Mengabaikan peranan insight
Berpandangan bahwa tingkah laku seseorang bergantung pada insight daripada trial dan error
Menekankan pada tingkah laku yang nampak (empiris) dengan mempergunakan metode obyektif
Lebih menekankan pada kognisi
Atomistik, Elemental, Molekular, objektif, Empiristik, Behavioral
Holistik, Molar, Subjektif, Nativistik, Kognitig, Fenomenologis
Mementingkan masa lalu sehingga belajar ditafsirkan sebagai perubahan perilaku
Lebih pada reorganisasi perseptual dalam memperoleh pemahaman.

2.        Tiga contoh teori primer thorndike
·         sering melakukan pengulangan dalam memecahkan suatu permasalahan, anak didik akan memiliki sebuah pengalaman yang berharga.
·         Mengadakan tes bakat dengan tujuan mengetahuia bakat dari masing-masing peserta didik. Dengan mengetahui bakatnya, maka akan memudahkan mendidik sebab materi yang disampaikan akan disesuaikan dengan bakat peserta didik
·         sistem pemberian hadiah, akan membuat anak didik menjadi lebih memiliki kemauan dalam memecahkan permasalahan yang dihadapinya.
3.        Peran teori behavior
·         Memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar.
·         Munculnya pembelajaran yang telah diprogramkan, suatu teknik dalam membimbing peserta didik kepada suatu taraf prestasi yang diinginkan.
4.        Contoh Classical Conditioning dari pavlov
·         Mata pelajaran sejarah (Conditioning Stimulus) + guru yang baik (Unconditional Stimulus) siswa mempunyai respon positif (Unconditional Respon), yang berarti siswa senang pada cara guru mengajar sejarah dengan baik. Kalau hal ini dilakukan berkali-kali, maka akan terjadi : mata pelajaran Sejarah (Conditioning Stimulus) siswa mempunyai respon positif terhadap mata pelajaran sejarah (Conditioning Respon).
·         Mata pelajaran sejarah (Conditioning Stimulus) + guru otoriter (Unconditional Stimulus) respons siswa negatif (Unconditional Respon). Kalau hal ini dilakukan berkalikali, maka akan terjadi hal sebagai berikut : mata pelajaran sejarah (Conditioning Stimulus) respons siswa terhadap mata pelajaran sejarah negatif (Conditioning Respon).

1.      Masalah dan kesulitan belajar di jurusan sejarah, yaitu:
·         Masih sulit menemukan cara pemahaman materi yang tepat karena masih sering terpaku pada metode menghafalkan materi yang ada
·         Sulit untuk menguasai materi yang ada karena luasnya ruang lingkup materi
  
Daftar Pustaka
·  Sudrajad, Akhmad. 2011. Kontribusi Psikologi terhadap Pendidikan: jurnal (online), (http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/02/teori-teori-belajar/, diakses pada 4 Mei 2012)
·       Thohir, Muhammad. 2012. Ivan Pavlov: Classical Conditioning: jurnal (online), (http://thohir.sunan-ampel.ac.id/2012/04/23/ivan-pavlov-classical-conditioning/, diakses pada 4 Mei 2012)
· Sumarno, Alim. 2012. Behaviorisme - Teori Thorndike: jurnal (online), (http://blog.elearning.unesa.ac.id/alim-sumarno/behaviorisme-teori-thondike, diakses pada 4 Mei 2012)
· Fadhilah, Nur Aziza. 2011. Teori Psikologi Gestalt: jurnal (online), (http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/03/teori-psikologi-gestalt/, diakses pada 4 Mei 2012)

Nama   : Al – Donna Zhara K

NIM    : 114284015

Entri Populer

 

My colorful world (Al - Donna Zahra Khairani) Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review