1.
Faktor Faktor Penyebab Runtuhnya Orde Baru
Runtunya rezim
Orde Baru disebabkan oleh beberapa faktor baik yang datang dari eksternal
maupun internal negeri. Faktor ekternal yaitu pengaruh krisis moneter Asia yang
melanda Thailand, sedangkan faktor internal yaitu stagnansi perekonomian
Indonesia serta kolusi, korupsi, dan nepotisme yang menggerogoti pemerintahan.
Berikut dibawah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai faktor-faktor penyebab
runtuhnya orde baru.
A.
Krisis Moneter, Awal Keterpurukan Perekonomian
Krisis moneter
yang melanda Thailand pada awal Juli 1997 merupakan permulaan peristiwa yang
mengguncang nilai tukar mata uang negara-negara di Asia seperti Malaysia,
Filipina, dan juga Indonesia. Rupiah yang berada pada posisi nilai tukar
2.500/US $ terus mengalami kemerosotan hingga 9 persen. Bank Indonesia mengakui
bahwa ia tidak bisa membendung rupiah yang terus merosot. Pada akhir Oktober,
nilai tukar rupiah menjadi Rp 4.000/US $. Dari sini, rupiah semakin terpuruk.
Pada bulan Januari 1998, rupiah tenggelam hingga level sekitar Rp 17.000/US $,
atau kehilangan 85% nilainya. Bursa saham Jakarta hancur. Hampir semua
perusahaan modern di Indonesia bangkrut sehingga menyebabkan terjadinya
pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran, dan tabungan kelas
menengah lenyap.
Melemahnya
nilai tukar rupiah tersebut menjadi perhatian khusus Presiden Soeharto.
Meskipun demikian, masih menyatakan keyakinannya bahwa Indonesia mampu menahan
badai yang bertiup dari Thailand
tersebut. Respon pemerintah terhadap krisis mencerminkan kesombongan dan
kurangnya kesadaran terhadap realitas. Reformasi diumumkan, namun proyek para
kroni dan keluarga – seperti mobil nasional Tommy – terus dilindungi. Presiden
Soeharto yang saat itu berpangkat Jenderal Besar Kehormatan (berbintang lima)
meminta bantuan sarana penyelamatan International Monetary
Fund (IMF) berjumlah US $43 miliar.
Perjanjian dengan IMF yang dilakukan pada Oktober 1997 memaksa pemerintah
Indonesia harus melakukan pembaruan-pembaruan kebijakan. Di antaranya,
penghentian subsidi dan penutupan 16 bank swasta, tetapi dua bank yang dimiliki
keluarga Soeharto dibuka kembali. Namun,
usaha tersebut tidak membawa perubahan.
Pada tanggal 6
Januari 1998, Soeharto mengumumkan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara
(RAPBN) yang tidak jelas karena memasukkan asumsi nilai tukar rupiah yang
berlaku enam bulan sebelumnya. Soeharto mendapat telepon dari Bill Clinton di
Washington, Helmut Kohl di Bonn, dan Hasimoto Ryutaro di Tokyo, serta mendapatkan
kunjungan Goh Chok Tong dari Singapura, yang semuanya mendesak Soeharto untuk menerima
proposal reformasi IMF. Pada tanggal 15 Januari 1998 di kediamannya di Jalan
Cendana nomor 8/10, Jakarta Pusat, Presiden Soeharto dan Direktur Pelaksana IMF
Michelle Camdessus menandatangani Letter of Intent (Nota Kesepakatan).
Dalam tindak lanjutnya, presiden melakukan revisi terhadap RAPBN yang telah
disampaikan sebelumnya, dan dinyatakan belum final.
Di tengah
kondisi yang tidak menentu itu, Presiden Soeharto justru mengeluarkan
pernyataan bahwa paket IMF yang ditandatanganinya pada tanggal 15 Januari1998
menjurus pada ekonomi liberal. Hal ini menyiratkan bahwapemerintah Indonesia
tidak akan melaksanakan perjanjian IMF yang berisi 50 butir kesepakatan
tersebut. Situasi tarik-menarik antara pemerintah dan IMF itu menyebabkan
krisis ekonomi di Indonesia semakin memburuk. Sedangkan Thailand dan Korea
Selatan yang pada awal keadaannya lebih buruk daripada Indonesia, telah
berkembang menuju proses pemulihan.
Pada saat
krisis semakin dalam, pada akhir Januari, Soeharto mengatakan bahwa dia akan
mencalonkan diri untuk masa kepresidenannya yang ketujuh dan mengisyaratkan bahwa
Soeharto menginginkan Habibie sebagai wakil presiden. Rupiah kemudian mencapai
kurs yang paling jelek. Tidak hanya gangguan secara ekonomi, gangguan sosial
pun merupakan ekses yang tidak terlepaskan. Dalam bulan-bulan pertama tahun
1998 di sejumlah kota terjadi kerusuhan-kerusuhan anti-Cina. Kelompok ini
merupakan sasaran kemarahan masyarakat karena dominasi perekonomian Indonesia
berada di tangan mereka.
B.
Krisis Politik dan Surutnya Kredibilitas Pemerintah
Soeharto
mengangkat orang-orang kepercayaannya ke dalam posisi penting. Mantan ajudannya
dan kepala staf Jenderal Wiranto ditunjuk sebagai Panglima ABRI pada bulan
Februari 1998. Menantu Soeharto, Letnan Jendral Prabowo Subianto, diserahi
jabatan pimpinan Kostrad pada bulan Maret. Dalam menyongsong sidang MPR bulan
Maret, sekitar 20 aktivis mahasiswa diculik oleh aparat keamanan dan sembilan
diantaranya kemungkinan dibunuh. Prabowo-lah yang umum diyakini sebagai dalang
dari kematian para mahasiswa ini.
Setelah pelaksanaan
pemilu ke-6 yang diselenggarakan pada tanggal 29 Mei 1997 yang memberikan
kemenangan pada Golkar dengan perolehan suara 74,5%, PPP 22,4%, dan PDI 3%,
perhatian politik tercurah pada Sidang Umum MPR pada bulan Maret 1998 yang
bertugas memilih presiden dan wakil presiden. Dalam sidang tersebut, Golkar
mencalonkan kembali Soeharto sebagai nominasi tunggal untuk jabatan presiden.
Dalam Sidang Umum MPR pada tanggal 11 Maret 1998 tersebut, Soeharto terpilih
secara aklamasi sebagai presiden untuk masa jabatan lima tahun yang ketujuh
kalinya dan B. J. Habibie sebagai wakil presiden. Terpilihnya Habibie
menghancurkan harapan terakhir komunitas internasional terhadap rezim tersebut.
Reputasi Habibie terletak pada sejarah BUMN yang merugi besar-besaran,
kedekatan pada Soeharto dan kroni-kroninya, dan memolitikkan islam.
Pada tanggal 14
Maret 1998 Presiden Soeharto membentuk kabinet barunya dengan menyertakan Siti
Hardiyanti Rukmana, putrinya sebagai Menteri Kesejahteraan Sosial, dan orang
dekatnya, Bob Hasan, sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian yang
nantinya terbukti tidak memiliki kemampuan untuk menduduki posisi itu. Hanya
sedikit tokoh Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang masuk kabinet.
ICMI kini berpindah ke kubu oposisi, yaitu reformasi.
Dalam beberapa
minggu setelah terpilihnya Soeharto sebagai Presiden RI, kekuatan-kekuatan
oposisi yang sejak lama dibatasi mulai muncul kepermukaan meingkatnya kecaman
terhadap Presiden Soeharto tumbuh subur yang ditandai lahirnya gerakan mahasiswa
sejak awal 1998. Gerakan mahasiswa yang mulai mengkristal di kampus-kampus,
seperti ITB, UI, dan lain-lain semangkit meningkat intesitasnya sejak
terpilihnya Soeharto kembali.
Demonstrasi-demonstrasi
mahasiswa berskala besar di seluruh Indonesia melibatkan pula para staf
akademisi maupun pimpinan universitas. Adapun garis besar tema yang dituntut
mahasiswa dalam aksi-aksinya di kampus di berbagai kota, yaitu penurunan harga
sembako (sembilan bahan pokok), penghapusan monopoli, kolusi, korupsi, dan nepotisme
(KKN), serta suksesi kepemimpinan nasional.
Pada penutupan
Sidang Umum MPR menjadi suatu kesempatan bagi sejumlah massa untuk melakukan
demonstrasi. Pada tanggal 11 Maret 1998 ribuan orang dan bergabung pula Amien
Rais serta berbagai staff akedimisi dari berbagai kampus melakukan demonstrasi
untuk mendukung gerakan mahasiswa. Bahkan demontrasi yang dilakukanoleh
mahasiswa-mahasiswa Universitas Gajah Mada di Yogjakarta merupakan demonstrasi
terbesar yang terjadi selama beberapa dekade ini. Patung Soeharto setinggi 3
meter pun dirusak oleh mahasiswa.
Aksi-aksi
mahasiswa yang tidak mendapatkan tanggapan dari pemerintah menyebabkan para
mahasiswa di berbagai kota lainnya mulai mengadakan aksi hingga keluar kampus.
Menjelang bulan April 1998, Amien Rais yang menempatkan dirinya sebagai
pemimpin informal gerakan secara terbuka menyerukan dukungan rakyat bagi
perjuangan mahasiswa. Selama itu pada permulan bulan Mei 1998 sejumlah
organisasi seperti LSM, dan International Forum on Indonesian Development (INFID),
bergabung bersama staf senat dari berbagai universitas melakukan protes turun
ke jalan untuk menuntut turunnya Presiden Soeharto.
Maraknya
aksi-aksi mahasiswa tidak jarang berlanjut menjadi bentrokan dengan para
aparat keamanan. Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto mencoba meredamnya dengan
menawarkan dialog kepada mahasiswa. Menurut Menhankam/ Pangab, dialog sangat dibutuhkan dalam menghadapi
situasi permasalahan bangsa yang sangat sulit. Dari dialog tersebut, ia
berharap komunikasi antara pemerintah masyarakat terbuka kembali. Sebaliknya,
para mahasiswa menganggap bahwa dialog dengan pemerintah dianggap tidak efektif
karena pokok tuntutan aksi-aksi mereka adalah reformasi politik dan ekonomi,
serta pengunduran diri Presiden Soeharto. Menurut mereka, mitra dialog yang
paling efektif adalah lembaga pemerintah kepresidenan dan MPR.
Di tengah
maraknya aksi-aksi protes mahasiswa dan komponen masyarakat lainnya, pada
tanggal 4 Mei 1998 pemerintah mengeluarkan kebijakan baru, yaitu menaikkan
hatga BBM dan tarif dasar listrik. Dalam hal ini pemerintah justru mengambil
langkah yang bertentangan dengan tuntutan yang berkembang saat itu. Bahkan
kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik semakin memicu gerakan massa karena
hal ini berdampak pada naiknya biaya angkutan dan barang kebutuhan lainnya,
Dalam kondidi
krisis ekonomi, politik, dan kepercayaan pada pemerintah, pada tanggal 9 Mei
1998 Presiden Soeharto menghadiri Konferensi G-15 di Kairo. Di dalam pesawat
menjelang keberangkatannya, Presiden Soeharto meminta masyarakat tenang dan
memahami kenaikan harga BBM. Selain itu, ia menyerukan pula kepada lawan-lawan
politiknya bahwa pasukan keamanan akan menangani dengan tegas setiap gangguan
yang muncul. Meskipun demikian, kerusuhan tetap tidak dapat dipadamkan dan gelombang
protes dari berbagai kalangan komponen masyarakat terus mewarnai perkembangan
situasi perpolitikan saat itu
2. Berbagai Kerusuhan dan Kronologis Jatuhnya Kekuasaan Soeharto sebagai Akhir Pemerintahan Orde Baru
2. Berbagai Kerusuhan dan Kronologis Jatuhnya Kekuasaan Soeharto sebagai Akhir Pemerintahan Orde Baru
Peringatan Hari
Kebangkitan Nasional yang akan diselenggarakan pada tanggal 20 Mei 1998
dirancanakan oleh gerakan mahasiswa sebagai momen Hari Reformasi Nasional.
Namun, ledakan kerusuhan terjadi lebih awal dan di luar dugaan. Pada tanggal 12
Mei 1998 di Universitas Trisakti yang berlokasi di daerah Grogol, Jakarta Barat
terjadi peristiwa penembakan terhadap empat orang mahasiswa oleh aparat
keamanan. Keempat orang mahasiswa Trisakti tersebut adalah Elang Mulya
Lesmana, Hendriawan Sie, Heri Hartanto,
dan Hafidhin Royan. Mereka tertembak
ketika ribuan mahasiswa Trisakti lainnya baru memasuki kampusnya setelah
menggelar aksi keprihatinan.
Kematian empat
mahasiswa Trisakti tersebut memicu berbagai gerakan proreformasi untuk
menyatukan langkah dan mendesak Presiden Soeharto mengundurkan diri. Senat
mahasiswa UI menyerukan aagar seluruh rakyat Indonesia mulai tanggal 13 Mei
1998 mengenakan pita hitam di tangan kiri, sebagai tanda berkabungnasional
serta lambang perjuangan reformasi dan suksesi kepemimpinan nasional. Seruan
ini mendapat tanggapan secara luas.
Pada tanggal 13
Mei 1998, setelah acara pemakaman keempat mahasiswa tersebut, ribuan mahasiswa
Trisakti aksi berkabung di kampusnya. Massa mulai membanjiri sekitar kampus
Universitas Trisakti untuk bergabung dengan mahasiswa. Aparat keamanan berusaha
mencegah aksi massa itu, akibatnya massa mengamuk dan mulai melakukan
pelemparan serta perusakan.
Keadaan yang hampir sama pun terjadi di Universitas Katolik Atma
Jaya di Jalan Jenderal Soedirman, Jakarta, tempat para mahasiswa menggelar
keprihatinan dan rasa dukacita bagi mahasiswa Trisakti yang telah menadi
mortir-mortir bangsa. Warga sekitar melakukan pembakaran di komplek pertokoan
Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Peristiwa itu terus berkembang dan menyebar
menjadi kerusuhan rasial. Toko-toko warga Indonesia keturunan Cina menjadi
sasaran penjarahan massa yang tidak dikenal. Selain itu, rumah-rumah mereka pun
dirusak dan dibakar.
Massa yang semula berada di Jalan S. Parman, Jakarta Barat secara
cepat bergerak ke arah Jalan Daan Mogot. Mereka melakukan perusakan dan
pembakaran mobil-mobil serta gedung-gedung di sepanjang jalan yang dilalui.
Selain itu, terjadi pula pemerkosaan terhadap sejumlah besar
perempuan-perempuan Indonesia keturunan Cina. Kerusuhan dan perusakan serupa
terjadi pula di kota-kota lainnya, terutama di Solo. Suasana Jakarta pun
seperti kota mati, tidak ada kendaraan yang lalu lalang. Namun, ditempat-tempat
tertentu, khususnya kawasan pertokoan, aksi-aksi penjarahan massa terus
berlangsung hingga dini hari.
Wakil Presiden B.J. Habibie di Istana Merdeka Selatan, atas nama
Presiden Soeharto menyampaikan keprihatinan pemerintah atas musibah yang
terjadi dalam unjuk rasa mahasiswa. Pemerintah menyerukan agar semua pihak
menahan diri dalam memelihara ketentraman dan stabilitas. Walaupun demikian,
pada tanggal 14 Mei 1998 kerusuhan terus melanda hampir seluruh wilayah Jakarta
dan sekitarnya. Bantuan pasukan dari luar kota pun mulai didatangkan untuk
mengamankan situasi ibu kota. Sementara itu, sejak tanggal 14 Mei 1998,
ribuanetnis Cina melakukan eksodus ke luar negeri, khususnya ke Singapura,
Bangkok, Hong Kong, dan Australia. Penyelamatan diri ini pun kemudian diikuti
oleh warga asing lainnya, seperti staf kedutaan, pekerja asing (ekspatriat)
beserta keluarga dan pejabat-pejabat IMF yang bertugas di Indonesia. Kerusuhan
di Jakarta menjadikan beberapa kedutaan besar di Jakarta mulai mengevakuasi sebagian
warganya ke Singapura dan Bangkok. Kedutaan besar lainnya menyarankan agar
warga negaranya meninggalkan Indonesia. Langkah tersebut juga diikuti oleh
beberapa perusahaan multinasional dalam ragka menghindari kerusuhan.
Perkembangan situasi tanah air yang semakin tidak menentu
meyebabkan Presiden Soeharto mempersingkat kunjungannya di Kairo, yang
dijadwalkan pulang pada tanggal 16 Mei 1998, sehari sebelumnya telah tiba di
tanah air. Di kediamannya di Jalan Cendana, Presiden Soeharto mengadakan
pertemuan dengan para pembantu-pembantunya untuk meminta laporan kondisi
terakhir dalam negeri. Keesokan harinya Presideen memutuskan untuk menurunkan
harga BBM. Selanjutnya Presiden berjanji akan melakukan reformasi di segala
bidang dan segera me-reshuffle Kabinet Pembangunan VII yang dipimpinnya.
Hal ini disampaikan oleh Soeharto ketika ia bertemu dengan para pemimpin DPR di
Jalan Cendana, Jakarta Pusat.
Langkah-langkah kebijakan ini pun tidak mampu meredam situasi yang
tidak teratur saat itu yang menginginkan mundurnya Presiden Soeharto. Pertemuan
selanjutnya terjadi antara Presiden Soeharto dan delegasi staf akademisi UI
yang dipimpin oleh Rektor Prof. Asman
Boedisantosa yang menyampaikan hasil simposium rektor seluruh indonesia agar
Presiden mundur dari jabatannya. Presiden Soeharto menjawab bahwa mundur
baginya bukan masalah.
Pada tanggal 17 Mei 1998 gerakan mahasiswa memutuskan untuk
menduduki Gedung DPR/MPR. Pada hari berikutnya mahasiswa dari seluruh Jabotabek
dan Bandung ikut bergabung di gedung tersebut. Dalam situasi ini aparat
keamanan tidak mengahalangi mahasiswa untuk masuk dan menduduki gedung MPR/DPR.
Mereka menyerukan slogan-slogan “Reformasi atau Mati” sambil menyanyikan
lagu-lagu patriotik.
Keesokan harinya, tanggal 18 Mei 1998 terjadi pertemuan antara
pimpinan DPR dan sejumlah delegasi mahasiswa untuk mendiskusikan penyelenggaran
secepatnya Sidang Umum Istimewa. Selanjutnya Ketua MPR/DPR Harmoko mengumumkan
keputusan secara resmi kepada publik tentang tuntutan pengunduran diri Presiden
Soeharto. Pengumuman tersebut disambut gembira terutama oleh para mahasiswa
yang menduduki gedung MPR/DPR.
Petang harinya, Presiden Soeharto melakukan pertemuan dengan
cendekiawan Islam terkemuka Nurcholis Madjid guna membahas pendapatnya tentang
langkah terbaik selanjutnya. Dalam pertemuan itu, Presiden Soeharto ada
petunjuk bahwa ia bersedia turun. Hari berikutnya tanggal 19 Mei 1998, Presiden
bertemu dengan sembilan orang pimpinan senior muslim dan mengumumkan rencananya
untuk membentuk Komisi Pembaruan serta kabinet baru.
Dalam sebuah pidato nasional, Presiden Soeharto secara resmi
mengumumkan pembubaran kabinet yang baru berusia dua bulan dan membentuk
kabinet baru yang dinamai Kabinet Reformasi. Komisi Pembaruan bertugas
menyiapkan undang-undang baru, menyelenggarakan pemilu secepat mungkin, dan
dalam hal ini Presiden Soeharto tidak akan mencalonkan diri lagi sebagai
Presiden untuk periode berikutnya jika MPR yang baru sudah bersidang.
Di tengah rencana-rencana Presiden itu,
Amien Rais mengordinasikan protes-protes mahasiswa dan mengancam akan
menghimpun satu juta demonstran di Jakarta pada tanggal 20 Mei 1998 guna
menyerukan pengunduran diri Presiden Soeharto. Pidato Presiden tidak
memengaruhi pendirian Amien Rais dan yang lainnya karena mereka mencurigai
bahwa Presiden membuat taktik baru untuk mengulur waktu saja.
Namun, rencana Amien Rais tidak jadi
dilakukan karena adanya ancaman kekerasan terhadap para demonstran. Amien Rais
menyampaikan pidato yang disiarkan oleh RCTI untuk membatalkan acara apel akbar
di Monas yang akan dihadiri satu juta orang.
Menjelang akhir pemerintahannya, Presiden
Soeharto mulai ditinggalkan pembantu-pembantunya di kabinet. Para menterinya,
yang dipimpin oleh Ginandjar Kartasasmita, mengadakan rapat dalam kabinet baru
serta mendesak Presiden untuk turun. Pernyataan tersebut disampaikan ke Cendana
sekitar pukul 20.00, dan hal ini sangat mengguncang Presiden Soeharto.
Pada pertemuan di malam yang sama,
Menhankam/Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto atas nasihat sekelompok ahli hukum
konstitusi serta ahli politik menyatakan bahwa demi kepentingan bangsa, solusi
terbaik adalah mengalihkan kekuasaan secara konstitusional dari Presiden kepada
Wakil Presiden. Pandangan itu disampaikannya kepada Presiden pada malam itu.
Menurut Probosutedjo yang mendampingi
Presiden Soeharto di saat-saat yang menentukan tersebut, Presiden menyatakan
bahwa kariernya sebagai pemimpin bangsa sudah berakhir dan ia harus menyerahkan
kekuasaan sesegera mungkin kepada Wakil Presiden B.J. Habibie. Pada saat itu
pula dukungan internasional kepada Soeharto untuk bertahan juga sudah sirna.
Sebelum tengah malam, Menlu Amerika Serikat Madeleine Allbright menyiarkan
pernyataa melalui jaringan televisi CNN agar Soeharto mundur demi kepentingan
transisi menuju demokrasi.
Pada pagi hari tanggal 19 Mei 1998 pukul
00.10, Yusril Ihza Mahendra Staf Sekretariat Negara menelepon Amien Rais yang
berada di Rumah. Malik Fadjar bersama Nurcholis Madjid dan kawan-kawan
memeberitahukan bahwa Soeharto sudah menandatangani naskah pengunduran dirinya.
Selanjutnya pada pagi hari hari pukul 00.20, Amien Rais dan kawan-kawan
mengadakan jumpa pers di rumah Malik Fadjar di Jalan Indramayu No. 14, Jakarta
Pusat. Mereka menyerukan langkah-langkah yang perlu diambil pemerintah
seandainya Presiden Soeharto mengundurkan diri. Pada hari Kamis tanggal 21 Mei
1998 sekitar pukul 09.00 WIB, Presiden membacakan pidato pengunduran dirinya
sebagai Presiden RI di Istana Merdeka. Soeharto mengumumkan, sesuai Pasal 8 UUD
1945, Wapres B.J. Habibie akan melanjutkan sisa masa jabata Presiden Mandataris
MPR 1998-2003. Saat itu Habibie mengucap sumpah, disaksikan oleh Ketua Mahkamah
Agung, sebagai Presiden RI yang baru. Selanjutnya Menhankam/Pangab Jenderal
Wiranto mengumumkan bahwa ABRI akan tetap menjaga keselamatan dan kehormatan
mantan Presiden Mandataris MPR, termasuk Soeharto dan keluarganya.
2 komentar:
bagus
Gud mamank
Posting Komentar