Selasa, 24 September 2013

Proses Berakhirnya Pemerintah Orde Baru dan Terjadinya Reformasi

Diposting oleh Pernak Pernik Sejarah di 08.10
1.       Faktor Faktor Penyebab Runtuhnya Orde Baru
Runtunya rezim Orde Baru disebabkan oleh beberapa faktor baik yang datang dari eksternal maupun internal negeri. Faktor ekternal yaitu pengaruh krisis moneter Asia yang melanda Thailand, sedangkan faktor internal yaitu stagnansi perekonomian Indonesia serta kolusi, korupsi, dan nepotisme yang menggerogoti pemerintahan. Berikut dibawah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai faktor-faktor penyebab runtuhnya orde baru.
A.       Krisis Moneter, Awal Keterpurukan Perekonomian
Krisis moneter yang melanda Thailand pada awal Juli 1997 merupakan permulaan peristiwa yang mengguncang nilai tukar mata uang negara-negara di Asia seperti Malaysia, Filipina, dan juga Indonesia. Rupiah yang berada pada posisi nilai tukar 2.500/US $ terus mengalami kemerosotan hingga 9 persen. Bank Indonesia mengakui bahwa ia tidak bisa membendung rupiah yang terus merosot. Pada akhir Oktober, nilai tukar rupiah menjadi Rp 4.000/US $. Dari sini, rupiah semakin terpuruk. Pada bulan Januari 1998, rupiah tenggelam hingga level sekitar Rp 17.000/US $, atau kehilangan 85% nilainya. Bursa saham Jakarta hancur. Hampir semua perusahaan modern di Indonesia bangkrut sehingga menyebabkan terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran, dan tabungan kelas menengah lenyap.
Melemahnya nilai tukar rupiah tersebut menjadi perhatian khusus Presiden Soeharto. Meskipun demikian, masih menyatakan keyakinannya bahwa Indonesia mampu menahan badai  yang bertiup dari Thailand tersebut. Respon pemerintah terhadap krisis mencerminkan kesombongan dan kurangnya kesadaran terhadap realitas. Reformasi diumumkan, namun proyek para kroni dan keluarga – seperti mobil nasional Tommy – terus dilindungi. Presiden Soeharto yang saat itu berpangkat Jenderal Besar Kehormatan (berbintang lima) meminta bantuan sarana penyelamatan International Monetary Fund (IMF) berjumlah US $43 miliar. Perjanjian dengan IMF yang dilakukan pada Oktober 1997 memaksa pemerintah Indonesia harus melakukan pembaruan-pembaruan kebijakan. Di antaranya, penghentian subsidi dan penutupan 16 bank swasta, tetapi dua bank yang dimiliki keluarga Soeharto dibuka  kembali. Namun, usaha tersebut tidak membawa perubahan.
Pada tanggal 6 Januari 1998, Soeharto mengumumkan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) yang tidak jelas karena memasukkan asumsi nilai tukar rupiah yang berlaku enam bulan sebelumnya. Soeharto mendapat telepon dari Bill Clinton di Washington, Helmut Kohl di Bonn, dan Hasimoto Ryutaro di Tokyo, serta mendapatkan kunjungan Goh Chok Tong dari Singapura, yang semuanya mendesak Soeharto untuk menerima proposal reformasi IMF. Pada tanggal 15 Januari 1998 di kediamannya di Jalan Cendana nomor 8/10, Jakarta Pusat, Presiden Soeharto dan Direktur Pelaksana IMF Michelle Camdessus menandatangani Letter of Intent (Nota Kesepakatan). Dalam tindak lanjutnya, presiden melakukan revisi terhadap RAPBN yang telah disampaikan sebelumnya, dan dinyatakan belum final.
Di tengah kondisi yang tidak menentu itu, Presiden Soeharto justru mengeluarkan pernyataan bahwa paket IMF yang ditandatanganinya pada tanggal 15 Januari1998 menjurus pada ekonomi liberal. Hal ini menyiratkan bahwapemerintah Indonesia tidak akan melaksanakan perjanjian IMF yang berisi 50 butir kesepakatan tersebut. Situasi tarik-menarik antara pemerintah dan IMF itu menyebabkan krisis ekonomi di Indonesia semakin memburuk. Sedangkan Thailand dan Korea Selatan yang pada awal keadaannya lebih buruk daripada Indonesia, telah berkembang menuju proses pemulihan.
Pada saat krisis semakin dalam, pada akhir Januari, Soeharto mengatakan bahwa dia akan mencalonkan diri untuk masa kepresidenannya yang ketujuh dan mengisyaratkan bahwa Soeharto menginginkan Habibie sebagai wakil presiden. Rupiah kemudian mencapai kurs yang paling jelek. Tidak hanya gangguan secara ekonomi, gangguan sosial pun merupakan ekses yang tidak terlepaskan. Dalam bulan-bulan pertama tahun 1998 di sejumlah kota terjadi kerusuhan-kerusuhan anti-Cina. Kelompok ini merupakan sasaran kemarahan masyarakat karena dominasi perekonomian Indonesia berada di tangan mereka.
B.       Krisis Politik dan Surutnya Kredibilitas Pemerintah
Soeharto mengangkat orang-orang kepercayaannya ke dalam posisi penting. Mantan ajudannya dan kepala staf Jenderal Wiranto ditunjuk sebagai Panglima ABRI pada bulan Februari 1998. Menantu Soeharto, Letnan Jendral Prabowo Subianto, diserahi jabatan pimpinan Kostrad pada bulan Maret. Dalam menyongsong sidang MPR bulan Maret, sekitar 20 aktivis mahasiswa diculik oleh aparat keamanan dan sembilan diantaranya kemungkinan dibunuh. Prabowo-lah yang umum diyakini sebagai dalang dari kematian para mahasiswa ini.
Setelah pelaksanaan pemilu ke-6 yang diselenggarakan pada tanggal 29 Mei 1997 yang memberikan kemenangan pada Golkar dengan perolehan suara 74,5%, PPP 22,4%, dan PDI 3%, perhatian politik tercurah pada Sidang Umum MPR pada bulan Maret 1998 yang bertugas memilih presiden dan wakil presiden. Dalam sidang tersebut, Golkar mencalonkan kembali Soeharto sebagai nominasi tunggal untuk jabatan presiden. Dalam Sidang Umum MPR pada tanggal 11 Maret 1998 tersebut, Soeharto terpilih secara aklamasi sebagai presiden untuk masa jabatan lima tahun yang ketujuh kalinya dan B. J. Habibie sebagai wakil presiden. Terpilihnya Habibie menghancurkan harapan terakhir komunitas internasional terhadap rezim tersebut. Reputasi Habibie terletak pada sejarah BUMN yang merugi besar-besaran, kedekatan pada Soeharto dan kroni-kroninya, dan memolitikkan islam.
Pada tanggal 14 Maret 1998 Presiden Soeharto membentuk kabinet barunya dengan menyertakan Siti Hardiyanti Rukmana, putrinya sebagai Menteri Kesejahteraan Sosial, dan orang dekatnya, Bob Hasan, sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian yang nantinya terbukti tidak memiliki kemampuan untuk menduduki posisi itu. Hanya sedikit tokoh Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang masuk kabinet. ICMI kini berpindah ke kubu oposisi, yaitu reformasi.
Dalam beberapa minggu setelah terpilihnya Soeharto sebagai Presiden RI, kekuatan-kekuatan oposisi yang sejak lama dibatasi mulai muncul kepermukaan meingkatnya kecaman terhadap Presiden Soeharto tumbuh subur yang ditandai lahirnya gerakan mahasiswa sejak awal 1998. Gerakan mahasiswa yang mulai mengkristal di kampus-kampus, seperti ITB, UI, dan lain-lain semangkit meningkat intesitasnya sejak terpilihnya Soeharto kembali.
Demonstrasi-demonstrasi mahasiswa berskala besar di seluruh Indonesia melibatkan pula para staf akademisi maupun pimpinan universitas. Adapun garis besar tema yang dituntut mahasiswa dalam aksi-aksinya di kampus di berbagai kota, yaitu penurunan harga sembako (sembilan bahan pokok), penghapusan monopoli, kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN), serta suksesi kepemimpinan nasional.
Pada penutupan Sidang Umum MPR menjadi suatu kesempatan bagi sejumlah massa untuk melakukan demonstrasi. Pada tanggal 11 Maret 1998 ribuan orang dan bergabung pula Amien Rais serta berbagai staff akedimisi dari berbagai kampus melakukan demonstrasi untuk mendukung gerakan mahasiswa. Bahkan demontrasi yang dilakukanoleh mahasiswa-mahasiswa Universitas Gajah Mada di Yogjakarta merupakan demonstrasi terbesar yang terjadi selama beberapa dekade ini. Patung Soeharto setinggi 3 meter pun dirusak oleh mahasiswa.
Aksi-aksi mahasiswa yang tidak mendapatkan tanggapan dari pemerintah menyebabkan para mahasiswa di berbagai kota lainnya mulai mengadakan aksi hingga keluar kampus. Menjelang bulan April 1998, Amien Rais yang menempatkan dirinya sebagai pemimpin informal gerakan secara terbuka menyerukan dukungan rakyat bagi perjuangan mahasiswa. Selama itu pada permulan bulan Mei 1998 sejumlah organisasi seperti LSM, dan International Forum on Indonesian Development (INFID), bergabung bersama staf senat dari berbagai universitas melakukan protes turun ke jalan untuk menuntut turunnya Presiden Soeharto.
Maraknya aksi-aksi mahasiswa tidak jarang berlanjut menjadi bentrokan dengan para aparat keamanan. Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto mencoba meredamnya dengan menawarkan dialog kepada mahasiswa. Menurut Menhankam/ Pangab,  dialog sangat dibutuhkan dalam menghadapi situasi permasalahan bangsa yang sangat sulit. Dari dialog tersebut, ia berharap komunikasi antara pemerintah masyarakat terbuka kembali. Sebaliknya, para mahasiswa menganggap bahwa dialog dengan pemerintah dianggap tidak efektif karena pokok tuntutan aksi-aksi mereka adalah reformasi politik dan ekonomi, serta pengunduran diri Presiden Soeharto. Menurut mereka, mitra dialog yang paling efektif adalah lembaga pemerintah kepresidenan dan MPR.
Di tengah maraknya aksi-aksi protes mahasiswa dan komponen masyarakat lainnya, pada tanggal 4 Mei 1998 pemerintah mengeluarkan kebijakan baru, yaitu menaikkan hatga BBM dan tarif dasar listrik. Dalam hal ini pemerintah justru mengambil langkah yang bertentangan dengan tuntutan yang berkembang saat itu. Bahkan kenaikan harga BBM dan tarif dasar listrik semakin memicu gerakan massa karena hal ini berdampak pada naiknya biaya angkutan dan barang kebutuhan lainnya,
Dalam kondidi krisis ekonomi, politik, dan kepercayaan pada pemerintah, pada tanggal 9 Mei 1998 Presiden Soeharto menghadiri Konferensi G-15 di Kairo. Di dalam pesawat menjelang keberangkatannya, Presiden Soeharto meminta masyarakat tenang dan memahami kenaikan harga BBM. Selain itu, ia menyerukan pula kepada lawan-lawan politiknya bahwa pasukan keamanan akan menangani dengan tegas setiap gangguan yang muncul. Meskipun demikian, kerusuhan tetap tidak dapat dipadamkan dan gelombang protes dari berbagai kalangan komponen masyarakat terus mewarnai perkembangan situasi perpolitikan saat itu
2.       Berbagai Kerusuhan dan Kronologis Jatuhnya Kekuasaan Soeharto sebagai Akhir Pemerintahan Orde Baru
Peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang akan diselenggarakan pada tanggal 20 Mei 1998 dirancanakan oleh gerakan mahasiswa sebagai momen Hari Reformasi Nasional. Namun, ledakan kerusuhan terjadi lebih awal dan di luar dugaan. Pada tanggal 12 Mei 1998 di Universitas Trisakti yang berlokasi di daerah Grogol, Jakarta Barat terjadi peristiwa penembakan terhadap empat orang mahasiswa oleh aparat keamanan. Keempat orang mahasiswa Trisakti tersebut adalah Elang Mulya Lesmana,  Hendriawan Sie, Heri Hartanto, dan  Hafidhin Royan. Mereka tertembak ketika ribuan mahasiswa Trisakti lainnya baru memasuki kampusnya setelah menggelar aksi keprihatinan.
Kematian empat mahasiswa Trisakti tersebut memicu berbagai gerakan proreformasi untuk menyatukan langkah dan mendesak Presiden Soeharto mengundurkan diri. Senat mahasiswa UI menyerukan aagar seluruh rakyat Indonesia mulai tanggal 13 Mei 1998 mengenakan pita hitam di tangan kiri, sebagai tanda berkabungnasional serta lambang perjuangan reformasi dan suksesi kepemimpinan nasional. Seruan ini mendapat tanggapan secara luas.
Pada tanggal 13 Mei 1998, setelah acara pemakaman keempat mahasiswa tersebut, ribuan mahasiswa Trisakti aksi berkabung di kampusnya. Massa mulai membanjiri sekitar kampus Universitas Trisakti untuk bergabung dengan mahasiswa. Aparat keamanan berusaha mencegah aksi massa itu, akibatnya massa mengamuk dan mulai melakukan pelemparan serta perusakan.
Keadaan yang hampir sama pun terjadi di Universitas Katolik Atma Jaya di Jalan Jenderal Soedirman, Jakarta, tempat para mahasiswa menggelar keprihatinan dan rasa dukacita bagi mahasiswa Trisakti yang telah menadi mortir-mortir bangsa. Warga sekitar melakukan pembakaran di komplek pertokoan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Peristiwa itu terus berkembang dan menyebar menjadi kerusuhan rasial. Toko-toko warga Indonesia keturunan Cina menjadi sasaran penjarahan massa yang tidak dikenal. Selain itu, rumah-rumah mereka pun dirusak dan dibakar.
Massa yang semula berada di Jalan S. Parman, Jakarta Barat secara cepat bergerak ke arah Jalan Daan Mogot. Mereka melakukan perusakan dan pembakaran mobil-mobil serta gedung-gedung di sepanjang jalan yang dilalui. Selain itu, terjadi pula pemerkosaan terhadap sejumlah besar perempuan-perempuan Indonesia keturunan Cina. Kerusuhan dan perusakan serupa terjadi pula di kota-kota lainnya, terutama di Solo. Suasana Jakarta pun seperti kota mati, tidak ada kendaraan yang lalu lalang. Namun, ditempat-tempat tertentu, khususnya kawasan pertokoan, aksi-aksi penjarahan massa terus berlangsung hingga dini hari.
Wakil Presiden B.J. Habibie di Istana Merdeka Selatan, atas nama Presiden Soeharto menyampaikan keprihatinan pemerintah atas musibah yang terjadi dalam unjuk rasa mahasiswa. Pemerintah menyerukan agar semua pihak menahan diri dalam memelihara ketentraman dan stabilitas. Walaupun demikian, pada tanggal 14 Mei 1998 kerusuhan terus melanda hampir seluruh wilayah Jakarta dan sekitarnya. Bantuan pasukan dari luar kota pun mulai didatangkan untuk mengamankan situasi ibu kota. Sementara itu, sejak tanggal 14 Mei 1998, ribuanetnis Cina melakukan eksodus ke luar negeri, khususnya ke Singapura, Bangkok, Hong Kong, dan Australia. Penyelamatan diri ini pun kemudian diikuti oleh warga asing lainnya, seperti staf kedutaan, pekerja asing (ekspatriat) beserta keluarga dan pejabat-pejabat IMF yang bertugas di Indonesia. Kerusuhan di Jakarta menjadikan beberapa kedutaan besar di Jakarta mulai mengevakuasi sebagian warganya ke Singapura dan Bangkok. Kedutaan besar lainnya menyarankan agar warga negaranya meninggalkan Indonesia. Langkah tersebut juga diikuti oleh beberapa perusahaan multinasional dalam ragka menghindari kerusuhan.
Perkembangan situasi tanah air yang semakin tidak menentu meyebabkan Presiden Soeharto mempersingkat kunjungannya di Kairo, yang dijadwalkan pulang pada tanggal 16 Mei 1998, sehari sebelumnya telah tiba di tanah air. Di kediamannya di Jalan Cendana, Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan para pembantu-pembantunya untuk meminta laporan kondisi terakhir dalam negeri. Keesokan harinya Presideen memutuskan untuk menurunkan harga BBM. Selanjutnya Presiden berjanji akan melakukan reformasi di segala bidang dan segera me-reshuffle Kabinet Pembangunan VII yang dipimpinnya. Hal ini disampaikan oleh Soeharto ketika ia bertemu dengan para pemimpin DPR di Jalan Cendana, Jakarta Pusat.
Langkah-langkah kebijakan ini pun tidak mampu meredam situasi yang tidak teratur saat itu yang menginginkan mundurnya Presiden Soeharto. Pertemuan selanjutnya terjadi antara Presiden Soeharto dan delegasi staf akademisi UI yang  dipimpin oleh Rektor Prof. Asman Boedisantosa yang menyampaikan hasil simposium rektor seluruh indonesia agar Presiden mundur dari jabatannya. Presiden Soeharto menjawab bahwa mundur baginya bukan masalah.
Pada tanggal 17 Mei 1998 gerakan mahasiswa memutuskan untuk menduduki Gedung DPR/MPR. Pada hari berikutnya mahasiswa dari seluruh Jabotabek dan Bandung ikut bergabung di gedung tersebut. Dalam situasi ini aparat keamanan tidak mengahalangi mahasiswa untuk masuk dan menduduki gedung MPR/DPR. Mereka menyerukan slogan-slogan “Reformasi atau Mati” sambil menyanyikan lagu-lagu patriotik.
Keesokan harinya, tanggal 18 Mei 1998 terjadi pertemuan antara pimpinan DPR dan sejumlah delegasi mahasiswa untuk mendiskusikan penyelenggaran secepatnya Sidang Umum Istimewa. Selanjutnya Ketua MPR/DPR Harmoko mengumumkan keputusan secara resmi kepada publik tentang tuntutan pengunduran diri Presiden Soeharto. Pengumuman tersebut disambut gembira terutama oleh para mahasiswa yang menduduki gedung MPR/DPR.
Petang harinya, Presiden Soeharto melakukan pertemuan dengan cendekiawan Islam terkemuka Nurcholis Madjid guna membahas pendapatnya tentang langkah terbaik selanjutnya. Dalam pertemuan itu, Presiden Soeharto ada petunjuk bahwa ia bersedia turun. Hari berikutnya tanggal 19 Mei 1998, Presiden bertemu dengan sembilan orang pimpinan senior muslim dan mengumumkan rencananya untuk membentuk Komisi Pembaruan serta kabinet baru.
Dalam sebuah pidato nasional, Presiden Soeharto secara resmi mengumumkan pembubaran kabinet yang baru berusia dua bulan dan membentuk kabinet baru yang dinamai Kabinet Reformasi. Komisi Pembaruan bertugas menyiapkan undang-undang baru, menyelenggarakan pemilu secepat mungkin, dan dalam hal ini Presiden Soeharto tidak akan mencalonkan diri lagi sebagai Presiden untuk periode berikutnya jika MPR yang baru sudah bersidang.
Di tengah rencana-rencana Presiden itu, Amien Rais mengordinasikan protes-protes mahasiswa dan mengancam akan menghimpun satu juta demonstran di Jakarta pada tanggal 20 Mei 1998 guna menyerukan pengunduran diri Presiden Soeharto. Pidato Presiden tidak memengaruhi pendirian Amien Rais dan yang lainnya karena mereka mencurigai bahwa Presiden membuat taktik baru untuk mengulur waktu saja.
Namun, rencana Amien Rais tidak jadi dilakukan karena adanya ancaman kekerasan terhadap para demonstran. Amien Rais menyampaikan pidato yang disiarkan oleh RCTI untuk membatalkan acara apel akbar di Monas yang akan dihadiri satu juta orang.
Menjelang akhir pemerintahannya, Presiden Soeharto mulai ditinggalkan pembantu-pembantunya di kabinet. Para menterinya, yang dipimpin oleh Ginandjar Kartasasmita, mengadakan rapat dalam kabinet baru serta mendesak Presiden untuk turun. Pernyataan tersebut disampaikan ke Cendana sekitar pukul 20.00, dan hal ini sangat mengguncang Presiden Soeharto.
Pada pertemuan di malam yang sama, Menhankam/Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto atas nasihat sekelompok ahli hukum konstitusi serta ahli politik menyatakan bahwa demi kepentingan bangsa, solusi terbaik adalah mengalihkan kekuasaan secara konstitusional dari Presiden kepada Wakil Presiden. Pandangan itu disampaikannya kepada Presiden pada malam itu.
Menurut Probosutedjo yang mendampingi Presiden Soeharto di saat-saat yang menentukan tersebut, Presiden menyatakan bahwa kariernya sebagai pemimpin bangsa sudah berakhir dan ia harus menyerahkan kekuasaan sesegera mungkin kepada Wakil Presiden B.J. Habibie. Pada saat itu pula dukungan internasional kepada Soeharto untuk bertahan juga sudah sirna. Sebelum tengah malam, Menlu Amerika Serikat Madeleine Allbright menyiarkan pernyataa melalui jaringan televisi CNN agar Soeharto mundur demi kepentingan transisi menuju demokrasi.
Pada pagi hari tanggal 19 Mei 1998 pukul 00.10, Yusril Ihza Mahendra Staf Sekretariat Negara menelepon Amien Rais yang berada di Rumah. Malik Fadjar bersama Nurcholis Madjid dan kawan-kawan memeberitahukan bahwa Soeharto sudah menandatangani naskah pengunduran dirinya. Selanjutnya pada pagi hari hari pukul 00.20, Amien Rais dan kawan-kawan mengadakan jumpa pers di rumah Malik Fadjar di Jalan Indramayu No. 14, Jakarta Pusat. Mereka menyerukan langkah-langkah yang perlu diambil pemerintah seandainya Presiden Soeharto mengundurkan diri. Pada hari Kamis tanggal 21 Mei 1998 sekitar pukul 09.00 WIB, Presiden membacakan pidato pengunduran dirinya sebagai Presiden RI di Istana Merdeka. Soeharto mengumumkan, sesuai Pasal 8 UUD 1945, Wapres B.J. Habibie akan melanjutkan sisa masa jabata Presiden Mandataris MPR 1998-2003. Saat itu Habibie mengucap sumpah, disaksikan oleh Ketua Mahkamah Agung, sebagai Presiden RI yang baru. Selanjutnya Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto mengumumkan bahwa ABRI akan tetap menjaga keselamatan dan kehormatan mantan Presiden Mandataris MPR, termasuk Soeharto dan keluarganya.


2 komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

 

My colorful world (Al - Donna Zahra Khairani) Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review