"Belanda yang (konon)
pernah menjajah Indonesia selama 350 tahun" Mitos ini agaknya perlu
dibongkar dan dikritisi sehingga ada pelurusan sejarah bagi bangsa ini. Sebab,
selama berpuluh tahun kita telah dicekoki dengan informasi yang tak jelas,
bahkan tak bisa dipertanggungjawabkan secara historis maupun akademis.
Entah siapa yang mengawali,
tetapi kita kebanyakan turut larut dalam opini tentang mitos penjajahan Belanda
di negeri ini. Selama berpuluh tahun para pelajar dan mahasiswa mempelajari
tentang penjajahan bangsa-bangsa Eropa atas Indonesia lewat mata pelajaran
Sejarah. Bahkan dalam teks pidato para pejabat, saat peringatan kemerdekaan,
selalu terungkap adanya penjajahan Belanda selama 350 tahun di Indonesia.
Ironisnya, pemerintah sendiri tak merasa risih dengan “doktrin”
yang menyatakan bahwa Indonesia pernah dijajah Belanda selama 350 tahun.
Jika kita membuka kembali catatan
sejarah, hitungan (angka) yang menyatakan Indonesia pernah dijajah Belanda
selama 350 tahun diduga berawal dari awal kedatangan Belanda ke negeri ini.
Armada laut Belanda dipimpin Cornelis de Houtman memang tiba pertama kali di
Banten tahun 1595. Dari sinilah angka 350 tahun itu awalnya diperoleh. Tentu
dengan melakukan pengurangan ketika bangsa Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya tahun 1945. Secara matematis, siapapun tahu jika 1945-1595 =
350.
Tetapi momen tersebut jelas
tidak bisa dijadikan referensi awal penjajahan Belanda atas wilayah Indonesia.
Sebab kedatangan para pedagang avonturir milik perseroan dagang di Amsterdam
(Belanda) itu, adalah untuk berniaga. Terutama niaga rempah-rempah yang sangat
dibutuhkan di Eropa. Setelah mendapatkan barang-barang yang diperlukan dalam
jumlah besar, rombongan Houtman kembali ke negerinya di Belanda sekitar tahun
1597.
Sampai di sini, jelas belum
ada yang namanya kolonialisme atau penjajahan. Karena yang terjadi adalah
hubungan perniagaan antara masyarakat pribumi dengan pedagang Belanda.
Persoalan baru muncul kemudian, setelah gerombolan maskapai perdagangan Belanda
lainnya datang dalam jumlah lebih besar secara bertahap, yang akhirnya
menimbulkan persaingan tidak sehat sesama mereka. Untuk menjaga meluasnya
persaingan dagang, sebanyak 17 kongsi dagang Belanda membentuk Vereenigde Oost
Indische Compagnie (VOC) tahun 1602.
Tujuannya, menguasai
perdagangan rempah-rempah maupun hasil-hasil bumi lainnya di sejumlah kerajaan
yang mereka anggap sebagai wilayah Imperium Neerlando Indicium atau Hindia
Belanda dengan menghalalkan segala cara. Jelas saja, kerakusan VOC mendapat
perlawanan kaum pribumi yang merasa kelangsungan kepentingannya mulai terancam
(Sartono; 1987: 71).
Sejarah Indonesia mencatat,
Raja-raja di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan lain-lain memang
tak mampu menghadapi kompeni Belanda. Tetapi bukan berarti hal itu telah
menjadi legitimasi Belanda sebagai penjajah Indonesia. Sebab ketika para Raja-raja
yang terganggu kepentingannya itu bertarung melawan Belanda, mereka hanya
mewakili kerajaannya masing-masing. Belum memikirkan kepentingan dan eksistensi
bangsa Indonesia secara kolektif. Karena bangsa dan negara Indonesia ketika itu
juga belum ada secara de fakto maupun de yure.
Apakah perlawanan
Sisingamangaraja XII di Tapanuli, Sultan Ageng Tirtayasa di Banten atau
perlawanan Sultan Agung di Mataram dan Sultan Hasanuddin di Makkasar telah
representatif mewakili bangsa Indonesia secara nasional? Tentu tidak! Karena
masing-masing kerajaan itu hanya mempertahankan eksistensi wilayahnya
sendiri-sendiri agar tidak dikuasai kolonialisme Belanda. Artinya, negara
Indonesia belum ada ketika Raja-raja yang pernah eksis di wilayah Indonesia
sekarang, bangkit melawan Belanda. Dan, tidak semua pula wilayah Indonesia
sekarang merupakan wilayah kekuasaan Hindia Belanda pada masa lalu.
Meskipun Belanda telah
berkuasa atas sebagian besar kerajaan-kerajaan tradisional tersebut, masih
banyak wilayah-wilayah bebas di Indonesia sekarang yang tidak dikuasai Belanda.
Terutama kerajaan-kerajaan kecil di pesisir Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan
Indonesia bagian Timur. Buktinya, kita tak pernah mendengar ada kerajaan di
Papua (Irian) yang pada jaman VOC berkuasa, yang ikut melawan Belanda.
Prof Mr GJ Resink, Sejarawan
Universitas Indonesia keturunan Belanda, juga pernah membantah, bahwa Indonesia
pernah dijajah Belanda selama 350 tahun. Menurut Guru Besar Sejarah Indonesia
kelahiran Yogyakarta tahun 1911 ini, penjajahan Belanda yang dikatakan selama
350 tahun menguasai Kepulauan Indonesia sebenarnya tidak lebih dari mitos
politik belaka yang tidak bisa bertahan melawan ujian kebenaran sejarah (Asvi
Warman Adam, 2007: 12).
Karena itulah, secara tegas
dan tanpa tedeng aling-aling, kita harus mengoreksi dan mensosialisasikan bahwa
bangsa dan negara Indonesia tidak pernah dijajah oleh negara mana pun apalagi
oleh Belanda selama 350 tahun. Karena yang mereka kuasai adalah
kerajaan-kerajaan yang pernah eksis di wilayah Indonesia sekarang. Itu pun, tak
boleh digeneralisasi secara kolektif 350 tahun. Sebab kerajaan-kerajaan
tersebut tidak ditundukkan dalam waktu yang bersamaan. Tetapi secara
berturut-turut selama dalam waktu kurang lebih 300 tahun.
Secara resmi, negara Republik
Indonesia sendiri baru terbentuk sejak diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Jika terbentuknya saja baru tahun 1945, lantas kapan pula Belanda pernah
menjajah Indonesia selama 350 tahun?
0 komentar:
Posting Komentar